2013-02-28


Sore menjelang
Ragaku terbang
Menuju satu tujuan
Di mana aku bisa melemparkan senyuman

Selamat datang kebahagiaan

2013-02-27

Semesta


Depok, lima tahun lalu.

Namaku Bobi, aku seorang mahasiswa dan aku belum pernah sekalipun mempunyai kekasih. Bukan karena aku tidak menarik, tetapi lebih dikarenakan aku mempunyai nilai yang tidak bisa aku langgar. Umurku masih 22 tahun dan berkuliah di salah satu Universitas Negeri paling terkemuka di Indonesia. Wajahku oriental dengan mata yang sipit, alis yang tebal tetapi dengan kulit yang sedikit coklat. Hal ini disebabkan karena aku dilahirkan dari seorang ayah yang merupakan orang suku Jawa berkulit hitam legam dan ibu beretnis tionghoa. Aku dua bersaudara dan mempunyai adik perempuan yang masih bersekolah di kelas tiga Sekolah Menengah Atas.
Saat ini aku sedang menyelesaikan tugas karya tulis akhirku, namun aku sudah mendapatkan banyak pinangan dari beberapa perusahaan asing terkemuka yang bergerak di bidang pertambangan. Hal ini tidak lebih dikarekan aku berkuliah di Jurusan Teknik Kimia dan mempunyai banyak sekali relasi seniorku di jurusan. Walaupun aku pernah menjadi KetuaHimpunan Mahasiswa jurusan, tetapi kemampuanku bersosialisasilah yang menjadikan aku pribadi ‘seribu relasi’. Pernah suatu ketika aku mendapatkan nilai maksimal dalam satu mata kuliah hanya dikarenakan aku kenal dekat dengan Asisten Dosen mata kuliah tersebut.
Dalam masalah percintaan pun, aku telah mendapat banyak pengakuan cinta dari junior, senior, teman satu angkatan, bahkan dosen muda di jurusanku. Tetapi semua aku tolak mentah-mentah. Walaupun sebenarnya ada beberapa yang dapat memikat hatiku. Iya, karena nilai yang ada di dirirkulah yang membuatku memutuskan takkan mempunyai kekasih sampai umurku 28 tahun, atau mendekati target menikahku. Aku masih ingat sekali bagaimana nilai ini ditanamkan dan didoktrinisasi oleh kedua orang tuaku. Hal ini terjadi pada saat aku masih berumur 15 tahun, pada saat pubertasku sedang jadi-jadinya. Tepat malam pergantian tahun, kedua orang tuaku memberikan nasihat kepadaku. “kamu kan masih muda, jangan pacaran dulu ya. Nanti kalau kamu pacaran dan berciuman, pacar kamu bisa hamil”. Awalnya aku tidak percaya, masa iya dengan berciuman bisa menyebabkan hamil. Sampai aku menonton film Indonesia yang terdapat adegan ciuman di dalamnya. Di adegan tersebut, setelah berciuman pasangan wanitanya langsung hamil di adegan berikutnya.
Aku pernah melanggar nilai itu. Aku berpacaran dengan salah satu teman sekolahku di Sekolah Menengah Atas, tepat saat kenaikan kelas ke kelas dua. Sinta namanya. Tetapi, saat hubungan kita telah berjalan tiga bulan, Sinta memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya denganku. Dan alasannya sangat tidak masuk akal, pikirku. Dia tidak ingin melanjutkan denganku hanya karena aku tidak pernah menciumnya tepat di bibir. Dan saat itu aku merasa bahwa Sinta telah kehilangan kesadarannya. Bagaimana tidak, kami baru kelas dua dan sudah ingin punya anak dariku. Sinting. Aku tidak ingin menjadi ayah di umurku masih 17 tahun.

Jakarta, tiga tahun yang lalu

“Gimana malam ini?” kata Joe kepadaku sembari teriak di telingaku. Iya, malam itu kita sedang pesta gila-gilaan di sebuah kelab malam di daerah Gajah Mada.
“Udah dapat cewek belom lo? Udah tinggi?”
“Tinggi si udah, Joe. Tapi belom dapet cewek ni. Lo udah belom?”
“Udah ni. Bentar gw panggilin”
Tubuhku seakan tidak dapat berhenti bergoyang. Mulutku pun ikut berdendang. Aku terlalu asyik dengan dentuman music yang dimainkan oleh Dic Jokey (DJ) malam itu. Sampai Joe menghancurkan keasyikan ku malam itu.
“Kenalin ni, Bob. Namanya Sinta.”
“Oh iya, aku Boby.”
Mendengar nama Sinta, sekan tak asing di telingaku. Wajahnya pun tampak familiar. Kucoba mengingatnya, tak ada. Tak ada dalam ingatan. Kulupakan nama itu dan mulai membenamkan kembali pada keriuhan malam.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, keperhatikan jam yang menempel di tangan.
“Joe, gw duluan ya. Udah jam lima ni. Besok ngantor, bro.”
“Sabar Bob. Lima menit. Barenglah keluarnya.”
Lima menit berlalu dan kami keluar dari keriuhan malam itu.
Waktu berganti. Hari berjalan mendahului. Bulan pun seakan tak ketinggalan mengikuti. Dan, hari ini Joe telah berpacaran selama enam bulan dengan Sinta. Selama itu pula aku mencoba mencari Sinta dalam ingatan. Seakan kami telah berkenalan sejak lama. Wajahnya, tubuhnya, suaranya berhasil membuatku tak karuan. Siapakah Sinta? Apakah dia bagian dari masa laluku?
Malam ini, Joe akan melamar Sinta di hadapanku. Di sebuah restoran romantic beratapkan langit dan bercahayakan rembulan plus lilin romantic menghiasi meja. Pikiranku mulai mencari. Siapa sebenarnya orang ini? Sampai saat Joe berlutut dihadapan Sinta, aku masih mencari.
Dan akhirnya, saat Sinta menangis terharu menerima pinangan Joe, aku sadar. Bahwa dia adalah satu-satunya mantan yang aku punya. Apakah dia telah melupakan aku? Atau ingatan tentangku terhapus oleh keberadaan Joe?

Jakarta, hari ini, 27 Februari 2013

Hari ini Sinta akan melahirkan. Kutunggui dia di rumah sakit bersama Joe, dan keluarga besar. Saat ini pukul 12 malam, dan terdengar suara tangisan pertama dari ruang sebelah.
“Selamat ya, anaknya berjenis kelamin perempuan. Cantik sekali, mirip ibunya. Dan pantas, bapaknya pun tampan.”
“iya, Sus. Terima kasih ya. Sudah boleh kami pegang Sus?”
“jangan sekarang, Pak. Bayinya sedang disusui oleh ibunya. Nanti lihatnya di ruangan yang sebelah sana ya pak. Saya berithaukan jika sudah bisa dikunjungi.” kata suster sembari menunjuk ruang di ujung lorong.
Kami pun masuk ke dalam ruang tempat Sinta dirawat. Dia terlihat sangat cantik. Dan kelelahan, tentunya.
“Siapa namanya, Sin? Kasih nama jangan yang ada mirip-miripnya kayak nama bapaknya ya. Nanti jelek kayak bapaknya. Hahaha”
Dan seisi ruangan pun menggelegar dengan tawa.

Jakarta, satu tahun lalu

Tiba-tiba terlintas sebuah ide gila di kepalaku. Sebuah ide yang dapat merubah hidupku, selamanya. Kuhubungi Sinta dengan ponselku.
“Halo, Sinta. Ketemuan di cafĂ© sebelah kantorku, bisa?”
“Bisa kok. Ada apa ya?”
“Ada hal penting yang harus aku bicarakan. Tanpa Joe. Pukul lima.”
Kumatikan ponselku, dan aku meluncur langsung ke lokasi. Menunggunya hingga ia tiba. Meskipun mau tidak mau harus kutunggu selama dua jam sampai waktu menunjukkan pukul lima.
“Kamu dimana? Sudah jam lima dan aku tidak melihatmu disini.”
“Lima menit, aku sedang di toilet.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku terbangun dan aku melihat Sinta menangis.
“Aku minta maaf, Sin. Aku rasa hanya ini caranya agar aku bisa bersamamu. Kamu pun semalam mengakui bahwa kamu masih ingin bersamaku. Bukan dengan Joe.”
“Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini?”
“Iya, aku minta maaf.”
“Kamu nyampurin apa di minumanku? Kamu JAHAT!”
“Enggak ada apa-apa. Enggak ada yang aku campur.”
“Ngaku deh kamu. Ini rasanya seperti amphetamine. Tiba-tiba kepala aku seperti bercabang, muka aku kayak ditarik-tarik. Kamu masukin berapa banyak, Boby?”
“iya, iya aku ngaku. Aku masukin dua pil yang telah aku gerus ke air minuman kamu. Tepat pada saat kamu ke toilet untuk yang kedua kalinya.”
“Untuk apa Boby? Tanpa itu, aku pun akan mengakui bahwa aku ingin bersama-sama kamu. Tapi kamu tau, kita tidak akan pernah bisa bareng-bareng lagi. Aku sudah akan menikah dengan Joe. Kamu tau itu, Boby.”
“Iya aku minta maaf” hanya itu yang bisa kuucapkan. Permohonan maaf. Sampai Sinta berlari mengenakan bajunya dan meninggalkanku.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kring kring. Kring kring. Kring kring.” Ponselku bordering dengan kencangnya. Suaranya cukup untuk membangunkanku yang sedang tertidur di meja kerjaku.
“Ya halo. Jam dua malam lho ini, ada apa Sinta?”
“Aku hamil. Sudah memasuki bulan ketiga. Dan kamu harus bertanggung jawab.”
Tetiba pikiranku melayang-layang. Ke arah masa lalu dan berlari menuju masa depan. Teringat apa yang terjadi tiga bulan lalu, bagaimana respon dia setelah kejadian itu yang benar-benar sangat menghindar dariku. Sampai terbayang betapa senangnya jika aku benar-benar menikah dengan Sinta.
“Aku hamil Boby. Kamu harus tanggung jawab.”
“Iya. Aku pasti tanggung jawab.”

Jakarta, hari ini, 27 Februari 2013

“Kamu aku beri nama Semesta. Tumbuhlah besar dan banggakan kami sebagai orang tuamu.”
Terima kasih Semesta.

2013-02-25

Celotehan Sore Hari

Banyak yang terjadi belakangan ini. Teman-teman sudah banyak yang memutuskan untuk mulai ‘berduet’ dengan pasangannya.
Hari ini, di jam ini, seorang teman menanyakan tentang kebenaran keputusannya untuk meninggalkan jalur ‘solo’-nya.
“Menurutmu aku sudah pantas belom untuk menikah, menjadi istri sekaligus menjadi seorang ibu buat anak-anakku nanti?”
Sebuah pertanyaan tolol. Seharusnya pertanyaan ini ada di saat kamu mengiyakan ajakan untuk menikah. Kalau sudah mengiyakan seharusnya kamu sudah siap untuk menjalani kehidupan secara ‘duet’. Dan di kata ‘pantas’ seharusnya cuma kamu yang bisa jawab.
Orang lain, termasuk teman, bahkan orang tuamu pun tidak akan tahu sebanarnya dirimu. Mereka hanya sebatas di permukaan. Sekali lagi, Kapabilitas dan Kepantasan cuma kamu sendiri yang bisa menggali dan mengetahuinya.
Harusnya kamu yakin, Tuhan selalu punya cara yang menarik untuk mengejutkanmu.
Percaya, dan lakukan apa yang menurutmu benar. Jangan sampai dijerat oleh kejamnya penilaian orang lain.

Anugrah Dwi Priadi

.

Posisikan dirimu sebagai teman, jika dia temanmu.
Posisikan dirimu sebagai sahabat, jika dia sahabatmu.
Posisikan dirimu sebagai saudara, jika dia saudaramu.
Posisikan dirimu sebagai kekasih, jika dia kekasihmu.
Posisikan dirimu sebagai suami/istri, jika dia suami/istri-mu.
Tapi jangan pernah kau posisikan dirimu sebagai dia.
Karena, kita tak akan pernah sama.

2013-02-01

Ironi

'Aku akan ke Semarang hari ini, dan tiba di Semarang Tawang jam 4 dini hari. Tunggu aku, Callista.'

Itulah bunyi pesan singkat pacarku yang bersikeras menyambangiku di Tembalang di tengah-tengah kesibukannya. Ya, dia telah bekerja. Seorang abdi negara yang berintegritas di sebuah kementrian paling populer akibat hadirnya remunerasi paling tinggi. Obi namanya. Kami beda tiga tahun dan menjadikannya lebih dapat mengayomiku. Obi bekerja sebagai abdi negara sudah lima tahun. Walaupun, dia mendapatkan remunerasi baru dua tahun belakangan ini. Dia adalah seniorku di kampus. Aku yang sangat butuh bantuan untuk memperbaiki perangaiku menjadikan Psikologi menjadi jurusan pilihanku. Tapi, ternyata nasib berkata lain. Obi lulus dengan tepat waktu dan berpredikat sangat memuaskan, sedangkan aku selalu berkutat dengan bab tiga di skripsiku.

Tepat pukul empat dini hari kusambangi Semarang Tawang, tetapi Senja Utama (kereta bisnis jurusan Jakarta-Semarang) belum juga tiba. Kutunggu hingga lima belas menit dan tak ada pemberitahuan akan datang. Pengeras suara pun seakan membeku akibat dari dinginnya hari itu. Ku hubungi ponselnya, tiada jawaban. Ku kirimkan pesan singkat pun tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk duduk diam menunggu keretanya tiba.

Kutengok jam tanganku lagi, pukul setengah lima. Bersabar dan bersabar. Hanya itu yang dapat kulakukan demi menyambut kedatangan penunggu hati. Perasaanku mulai gelisah, mulai tak karuan. Mulutku pun ikut berbicara tak karuan mengkhawatirkan kedatangannya.

Dan, sudah pukul lima.

Ku hubungi terus ponselnya, ku kirimkan pesan singkat sebanyak yang aku bisa. Pikiran buruk pun mulai tercetus. Mulai dari anjloknya rel kereta sampai terbakarnya semua gerbong kereta. Aku benar-benar mengkhawatirkannya. Aku takut terjadi hal-hal yang mulai menghantui pikiranku. Aku akan sangat merasa bersalah apabila Obi terluka di tengah perjalanannya ke sini. Karena, aku yang membuatnya ke sini. Aku lah alasannya ke sini. Kerinduanku padanya yang membawanya menempuh perjalanan beratus-ratus kilometer ke sini.

Dan, sudah pukul enam.

Kutanyakan kepada petugas apakah Senja Utama akan datang. Dan jawabannya hanya satu kata padat dan jelas. Iya. Saat kutanyakan kembali kenapa sampai saat ini belum tiba, jawabannya pun mengecewakan. Kami tidak tahu, kami kehilangan kontak. Hatiku makin tak karuan. Hatiku berdegup semakin kencang dan pikiranku makin sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Aku semakin panik. Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu keluar. Kutanyakan kecemasanku pada setiap petugas yang kutemui, jawabannya pun tetap tak dapat memuaskan kebutuhan pikiranku. Aku butuh kepastian. Kepastian Obi akan datang. Bahkan, saat ini ponselnya sudah tidak aktif. Aku semakin gila. Aku mulai mengambil rokokku. Kuhisapnya satu demi satu, batang demi batang tak henti. Aku tidak mau orang yang paling aku sayang melebihi diriku sendiri meninggalkanku untuk selama-lamanya.

Dan, sudah pukul setengah tujuh.

Kuputuskan untuk menghubungi sanak saudara dan kerabatnya yang ku kenal. Dimulai dari orang tua, kakak, adik, sepupu, teman satu kos, bahkan mantan pacarnya pun tak luput untuk kuhubungi. Jawaban mereka tetap sama, tidak tahu. Kepanikanku mulai menjadi. Kulihat sekitarku, seakan hari ini stasiun ditutupi awan kelabu. Tetapi hanya aku yang menampakkan wajah kecemasan. Iya, hanya aku. Aku yang adalah insan nonsosial akhirnya memutuskan untuk bertanya pada sekelilingku. Mereka tampak tenang. Dan jawabannya kompak sama. Keretanya sedang terhalang longsor dan mengalami keterlambatan sampai Semarang Tawang.

Tepat pukul tujuh dan aku sudah mulai tenang.

Berkat jawaban orang di sekelilingku, hatiku pun mulai tenang. Aku mulai menata kembali gambaran hatiku yang kelam. Kuwarnai dengan warna cerah yang menenangkan. Aku mulai menyimpulkan. Kereta terlambat dan Obi baik-baik saja. Hanya saja, ponselnya sedang tidak aktif dikarenakan kehabisan daya.

Dan, pukul setengah delapan.

Pengeras suara mulai mencair. Akhirnya dia menyuarakan keinginan orang-orang seperti ku. Orang-orang yang sedang menanti. Bahwa Senja Utama akan tiba. Aku pun bersiap di depan pintu keluar. Sembari merapikan rambut dan pakaianku, aku ingin menyambutnya dengan penampilan yang menyejukkan. Yang cukup membuatnya tersenyum puas setelah perjalanannya.

Kuperhatikan semua orang yang berjalan meninggalkan stasiun. Satu demi satu. Berharap Obi akan muncul di pelupuk mata.

Dan, pukul delapan.

Semua orang yang datang tak ada yang berperawakan seperti Obi. Kuputuskan menunggu kembali beberapa menit. Mungkin dia sedang di toilet. Kutunggu dan terus kutunggu. Tapi tetap nihil. Tidak ada Obi. Apakah dia tidak pernah menaiki kereta ini? Apakah dia membatalkan kedatangannya? Apakah dia ........?

Dan, pukul setengah sembilan.

Dengan tangan hampa dan penuh rasa kecewa, ku tinggalkan Semarang Tawang untuk kembali ke kediamanku. Hatiku hancur. Berserakan dan takkan pernah bisa kembali utuh. Mengapa dia begitu tega membiarkanku merasakan hal seperti ini? AKU MARAH.

Begitu sampai di kediamanku, kuambil ponselku dan hendak ku lemparkan ke dinding kamarku. Agar nasibnya sama dengan hatiku, berserakan. Ketika hendak ku lempar, kutengok sekali lagi ponselku. Dan ternyata ada pesan singkat. Pesan singkat dari Obi. APA? OBI MENGIRIMIKU PESAN SINGKAT? Berani sekali dia. Kubuka pesan singkat itu dan kubaca. Dan hatiku kini telah tiada.

'Sayangku, Callista. Aku minta maaf. Hari ini aku menikah. Aku hendak melarikan diri untuk menemuimu dan menghilang dari tanggung jawabku, tapi aku tidak bisa. Maafkan aku, Callista. Ini hanya sebuah kecelakaan yang harus kutebus akibatnya. Aku telah mempunyai calon bayi berkelamin laki-laki. Dan keluargaku sengaja tidak memberitahukanmu yang sebenarnya saat kamu menghubungi mereka.'

AKU BENCI KAMU, OBI! DAN AKU BENCI LAKI-LAKI