2013-08-21

Kerinduan

Wahai ombak di lautan
Wahai rerumputan di tanah lapang
Sampai kapan kau terus berlaku seperti itu
Sampai kapan kau begitu rela dipermainkan

Mungkin kau dendam
Mungkin kau benci
Mengapa tak kau lari?
Atau mungkin mencoba mengkonfrontasi?

Saya benci
Saya sepi
Tolong izinkan saya menemuimu
Dan, mempermainkan setiap bujur dan lintang dirimu
Aku rindu kalian

2013-07-22

Dialog 2

'Wahai anak muda, kenapa kau selalu mengambil kotak yang berwarna-warni itu ketimbang kotak yang berwarna putih itu?'

'Tidak paman.  Aku hanya ingin mengambil yang itu. Aku sudah tau apa yang ada di dalamnya. Aku sudah dapat merasakan wangi isi di dalamnya walaupun aku belum membukanya. Aku pun dapat merasakan kegembiraan bahkan kesedihan yang sama setiap kali aku membukanya.' 

'Tapi, coba kau tengok kotak itu. Warnanya putih, bersih, dan kemungkinan di dalamnya sebersih kulit luarnya. Bahkan, besar kemungkinannya belum ada apapun di sana.'

'Jika benar di sana masih kosong, aku malas untuk mengisinya paman. Aku enggan mengulangi proses seperti aku mengambil kotak itu, dahulu kala. Aku enggan mengisinya dengan kebahagiaan. Aku enggan menuangkan kesedihan. Atau bahkan, aku enggan menyelimutinya dengan hangatnya kasih sayang. Walaupun, pada akhirnya aku juga memberikan sedikit kebencian di dalamnya.'

'Kenapa kau begitu bersikeras, Nak? Kau bahkan takkan pernah tahu apa yang akan terjadi jika kau membuka kotak putih itu.'

'Aku tidak akan membuka kotak itu paman. Kotak ini adalah kotak yang terbaik.'

'Terbaik? Hahaha. Bagaimana bisa kau sebut itu yang terbaik apabila kau belum membuka kotak putih itu?'

'Tidak, paman. Ini yang terbaik. Karena, kotak ini adalah kotak kenangan. Kotak dengan sejuta kenangan akan seseorang. Dan kotak itu bernama cinta.'

'Cinta? Hahaha. Aku pikir kau begitu pandai. Ternyata kau hanya seorang yang sangat naif. Lebih lama kau membuka kotak cintamu itu, kau akan mati. Mati tersedot oleh kotakmu sendiri.'

'Biarlah paman. Lebih baik aku mati seperti ini, daripada aku harus merasakan kebahagiaan lain melalui kotak yang paman tawarkan kepadaku.'

2013-06-24

Untukmu, Wanita Kesayanganku

Ini bukanlah sebuah petisi
Ini juga bukan tatanan kalimat indah

Apapun latar belakangmu
Apapun masa lalumu
Apapun peristiwa yang telah menimpamu

Aku tak peduli

Aku hidup untuk masa depan
Kita hidup untuk masa depan

Aku menggunakan kata kita, hanya karena aku ingin melebur bersamamu

Mencoba merengkuh masa indah
Merasakan getirnya napas
Melawan cercaan nyinyir adat ketimuran. 

2013-06-16

Senja Sunyi

Matahari, aku kesepian
Aku butuh cercahanmu
Seakan enggan, kau tersenyum
Tapi, untuk apa kau tersenyum saat ini?
Atau, untuk siapa?

Aku sudah tak dapat lagi melihatnya
Kau telah larut
Kau telah tenggelam
Kau menyembunyikan

Aku tak pernah butuh apapun darimu
Pelukan kehangatanmu pun tidak
Muncul di hadapan ku, tolong
Terangi hari-hariku
Aku bosan melihat kegelapan

Aku ingin cahaya
Bukan sebuah kepalsuan refleksimu di malam hari


Sebuah catatan tentang kepura-puraan. Atau bahkan, sebuah perasaan yang terpungkiri.

2013-06-12

Wanita Di Ujung Sana

Tolong berhenti. 
Sebuah bajaj butut, nan renta. 
Mencoba berkeliaran dalam penat ibukota. 

Ah, sudahlah. 
Ini semakin meracau. 
Otakku meracau mencoba meraba. 
Persepsi dan norma menjadi tak berguna. 

Wahai wanita di ujung sana. 
Namamu mengisyaratkan keindahan. 
Entah, apa artinya. 
Tapi, aku menyukai kenaifan otak dan perilakuku. 

Tengoklah. 
Sampaikan salam perkenalan. 
Mungkin akan tersongsong ceria.

2013-04-25

Dialog

'Hei anak muda, aku terheran dengan kau yang berbelok kembali ke jalan yang kau sudah pernah lalui. Bahkan kau juga tau, ada bermacam halang rintang di sana. Mulai dari binatang buas, hingga cuaca dan alam yang tidak bersahabat.'

'Karena aku menikmatinya. Aku menikmati setiap inchi dari jalan tersebut. Ribuan halng rintang, jutaan mara bahaya yang ada. Aku menyenanginya. Bahkan jika aku sudah menemukan jalan terbaik ke arah pulangku, aku akan sangat bersedia untuk melewati jalan itu beribu-ribu kali.'

'Tapi, apakah kau juga mau menjadikan jalan itu menjadi jalan menuju rumahmu?'

''Kalau itu mungkin, aku akan. Agar aku dapat merasakan petualangan setiap harinya. Merasakan ancaman setiap harinya. Dan menjadikan hatiku menjadi hati terkuat yang pernah ada.'

'Apakah kau sudah gila? Sudah tak ada lagi keindahan di jalan itu. Hutan sudah tergantikan dengan lumpur hidup yang siap menghisapmu ke dasar. Kicauan burung tiada, tersisa auman macan dan suara-suara goib lainnya yang kau bahkan tak tau itu apa. Bagaimana kau bisa pulang dengan selamat?'

'Aku sudah ingat betul setiap inchi jalan itu. Aku juga sudah hapal benar dengan ancaman yang ada. Yaa, walaupun selalu ada ancaman baru yang mencoba untuk datang di setiap harinya, tapi karakteristiknya sama. Dan penangkalnya pun sama.'

'Terserah kau saja, nak muda. Seakan tak pernah ada jalan lain yang lebih indah yang dapat kau lalui untuk menuju rumah. Lebih baik kau pikirkan dengan baik jalan yang kau tempuh, wahai nak muda.'

'Aku akan terus mencoba melewati jalan itu, hingga kutemukan rumahku di ujung jalan sana. Tapi jika tak kutemui, akan kutinggalkan jalan tersebut dan menuju jalan lain yang mempesona.'

2013-04-23

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak mendengar…
namun senantiasa bergetar….

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak buta..
namun senantiasa melihat dan merasa..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak menyiksa..
namun senantiasa menguji..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak memaksa..
namun senantiasa berusaha..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak cantik..
namun senantiasa menarik..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak datang dengan kata-kata..
namun senantiasa menghampiri dengan hati..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak terucap dengan kata..
namun senantiasa hadir dengan sinar mata..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak hanya berjanji..
namun senantiasa mencoba memenangi..

jika ia sebuah cinta…..
ia mungkin tidak suci..
namun senantiasa tulus..

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak hadir karena permintaan..
namun hadir karena ketentuan…

jika ia sebuah cinta…..
ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan…
namun hadir karena pengorbanan dan kesetiaan..

http://nonadd.wordpress.com/2011/03/02/apakah-saya-menikah-dengan-orang-yang-tepat/

Perang Kehidupan

Tiga tahun lalu, menantang mara bahaya. Bahu membahu menyusun strategi. Menyiapkan pasukan masa depan. Dengan semua amunisi dan persenjataan lengkap yang kita punya.

Dua tahun lalu, terjadi pengkhianatan besar-besaran. Sebuah pembelotan. Mencari kubu baru yang lebih menguntungkan. Dengan iming-iming keindahan. Satu minggu, rentang yang cukup untukmu menyesuaikan diri.

Terlintas dalam benak, apa yang harus kulakukan untuk melanjutkan peperangan ini apabila seorang jenderal kepercayaan meninggalkanku. Apakah aku harus mencari jenderal perang baru? Ataukah cukup aku saja yang menjalankan pasukan?

Satu minggu berselang.
Dua minnggu berselang.
Satu bulan terlewati.
Pasukan terbengkalai.
Peperangan terhenti.
Aku menyendiri.

Tetiba datang seorang jenderal dari negeri seberang menawarkan diri. 'Wahai penguasa, aku datang untuk menawarkan diriku untuk bergabung dan mengarungi mara bahaya ini bersamamu'. Dengan perawakan khas yang mumpuni dan persenjataan lengkap serta pengetahuan peperangan yang dahsyat, kuambil ia. Kujadikan ia jenderal perang baruku. Tapi, hatinya tak cukup kuat.

Waktu berlalu, semakin banyak jenderal baru yang menawarkan diri. Kujajaki satu persatu. Dan hasilnya tetap sama. Pasukan kami tewas. Persenjataan dan amunisi habis. Nyawa bergelimpangan tanpa kemenangan.

Kuputuskan untuk berhenti berperang.

Hingga suatu saat, jenderal kesayanganku datang kembali. Menyamar sebagai prajurit, berusaha memikatku dan mengembalikan gairah berperangku. Kuperhatikan dengan seksama, dan saat kusadari bahwa dia adalah jenderal perang kesayanganku, dia telah memimpin pasukan dan berhasil memenangkan satu pertempuran.

Semua pertempuran kumenangi. Semua peperangan kuhadapi dengan gagah berani. Tapi satu kenyataan pahit yang tiba-tiba muncul. Dia adalah mata-mata.

'Apakah harus kau kembali dengan cara seperti ini? Aku sudah terlanjur mempercayaimu.'
Dia terdiam.
Aku pun terdiam.


Hingga dia meninggalkanku kembali.

2013-04-17

Balada Jarak

Ratusan jarak menengadah siap mencengkram
Ribuan masalah menghadang di pelupuk mata
Tarian nada sumbang mengepakkan gerakannya
Mencoba melukai kebahagiaan

Jarak seharusnya menguatkan
Jarak seharusnya menenangkan
Jarak seharusnya tak menyusahkan

Tetapi, jarak adalah awal dari kesenduan
Satu doaku, dekatkan
Karena aku mencintaimu.

2013-02-28


Sore menjelang
Ragaku terbang
Menuju satu tujuan
Di mana aku bisa melemparkan senyuman

Selamat datang kebahagiaan

2013-02-27

Semesta


Depok, lima tahun lalu.

Namaku Bobi, aku seorang mahasiswa dan aku belum pernah sekalipun mempunyai kekasih. Bukan karena aku tidak menarik, tetapi lebih dikarenakan aku mempunyai nilai yang tidak bisa aku langgar. Umurku masih 22 tahun dan berkuliah di salah satu Universitas Negeri paling terkemuka di Indonesia. Wajahku oriental dengan mata yang sipit, alis yang tebal tetapi dengan kulit yang sedikit coklat. Hal ini disebabkan karena aku dilahirkan dari seorang ayah yang merupakan orang suku Jawa berkulit hitam legam dan ibu beretnis tionghoa. Aku dua bersaudara dan mempunyai adik perempuan yang masih bersekolah di kelas tiga Sekolah Menengah Atas.
Saat ini aku sedang menyelesaikan tugas karya tulis akhirku, namun aku sudah mendapatkan banyak pinangan dari beberapa perusahaan asing terkemuka yang bergerak di bidang pertambangan. Hal ini tidak lebih dikarekan aku berkuliah di Jurusan Teknik Kimia dan mempunyai banyak sekali relasi seniorku di jurusan. Walaupun aku pernah menjadi KetuaHimpunan Mahasiswa jurusan, tetapi kemampuanku bersosialisasilah yang menjadikan aku pribadi ‘seribu relasi’. Pernah suatu ketika aku mendapatkan nilai maksimal dalam satu mata kuliah hanya dikarenakan aku kenal dekat dengan Asisten Dosen mata kuliah tersebut.
Dalam masalah percintaan pun, aku telah mendapat banyak pengakuan cinta dari junior, senior, teman satu angkatan, bahkan dosen muda di jurusanku. Tetapi semua aku tolak mentah-mentah. Walaupun sebenarnya ada beberapa yang dapat memikat hatiku. Iya, karena nilai yang ada di dirirkulah yang membuatku memutuskan takkan mempunyai kekasih sampai umurku 28 tahun, atau mendekati target menikahku. Aku masih ingat sekali bagaimana nilai ini ditanamkan dan didoktrinisasi oleh kedua orang tuaku. Hal ini terjadi pada saat aku masih berumur 15 tahun, pada saat pubertasku sedang jadi-jadinya. Tepat malam pergantian tahun, kedua orang tuaku memberikan nasihat kepadaku. “kamu kan masih muda, jangan pacaran dulu ya. Nanti kalau kamu pacaran dan berciuman, pacar kamu bisa hamil”. Awalnya aku tidak percaya, masa iya dengan berciuman bisa menyebabkan hamil. Sampai aku menonton film Indonesia yang terdapat adegan ciuman di dalamnya. Di adegan tersebut, setelah berciuman pasangan wanitanya langsung hamil di adegan berikutnya.
Aku pernah melanggar nilai itu. Aku berpacaran dengan salah satu teman sekolahku di Sekolah Menengah Atas, tepat saat kenaikan kelas ke kelas dua. Sinta namanya. Tetapi, saat hubungan kita telah berjalan tiga bulan, Sinta memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya denganku. Dan alasannya sangat tidak masuk akal, pikirku. Dia tidak ingin melanjutkan denganku hanya karena aku tidak pernah menciumnya tepat di bibir. Dan saat itu aku merasa bahwa Sinta telah kehilangan kesadarannya. Bagaimana tidak, kami baru kelas dua dan sudah ingin punya anak dariku. Sinting. Aku tidak ingin menjadi ayah di umurku masih 17 tahun.

Jakarta, tiga tahun yang lalu

“Gimana malam ini?” kata Joe kepadaku sembari teriak di telingaku. Iya, malam itu kita sedang pesta gila-gilaan di sebuah kelab malam di daerah Gajah Mada.
“Udah dapat cewek belom lo? Udah tinggi?”
“Tinggi si udah, Joe. Tapi belom dapet cewek ni. Lo udah belom?”
“Udah ni. Bentar gw panggilin”
Tubuhku seakan tidak dapat berhenti bergoyang. Mulutku pun ikut berdendang. Aku terlalu asyik dengan dentuman music yang dimainkan oleh Dic Jokey (DJ) malam itu. Sampai Joe menghancurkan keasyikan ku malam itu.
“Kenalin ni, Bob. Namanya Sinta.”
“Oh iya, aku Boby.”
Mendengar nama Sinta, sekan tak asing di telingaku. Wajahnya pun tampak familiar. Kucoba mengingatnya, tak ada. Tak ada dalam ingatan. Kulupakan nama itu dan mulai membenamkan kembali pada keriuhan malam.
Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, keperhatikan jam yang menempel di tangan.
“Joe, gw duluan ya. Udah jam lima ni. Besok ngantor, bro.”
“Sabar Bob. Lima menit. Barenglah keluarnya.”
Lima menit berlalu dan kami keluar dari keriuhan malam itu.
Waktu berganti. Hari berjalan mendahului. Bulan pun seakan tak ketinggalan mengikuti. Dan, hari ini Joe telah berpacaran selama enam bulan dengan Sinta. Selama itu pula aku mencoba mencari Sinta dalam ingatan. Seakan kami telah berkenalan sejak lama. Wajahnya, tubuhnya, suaranya berhasil membuatku tak karuan. Siapakah Sinta? Apakah dia bagian dari masa laluku?
Malam ini, Joe akan melamar Sinta di hadapanku. Di sebuah restoran romantic beratapkan langit dan bercahayakan rembulan plus lilin romantic menghiasi meja. Pikiranku mulai mencari. Siapa sebenarnya orang ini? Sampai saat Joe berlutut dihadapan Sinta, aku masih mencari.
Dan akhirnya, saat Sinta menangis terharu menerima pinangan Joe, aku sadar. Bahwa dia adalah satu-satunya mantan yang aku punya. Apakah dia telah melupakan aku? Atau ingatan tentangku terhapus oleh keberadaan Joe?

Jakarta, hari ini, 27 Februari 2013

Hari ini Sinta akan melahirkan. Kutunggui dia di rumah sakit bersama Joe, dan keluarga besar. Saat ini pukul 12 malam, dan terdengar suara tangisan pertama dari ruang sebelah.
“Selamat ya, anaknya berjenis kelamin perempuan. Cantik sekali, mirip ibunya. Dan pantas, bapaknya pun tampan.”
“iya, Sus. Terima kasih ya. Sudah boleh kami pegang Sus?”
“jangan sekarang, Pak. Bayinya sedang disusui oleh ibunya. Nanti lihatnya di ruangan yang sebelah sana ya pak. Saya berithaukan jika sudah bisa dikunjungi.” kata suster sembari menunjuk ruang di ujung lorong.
Kami pun masuk ke dalam ruang tempat Sinta dirawat. Dia terlihat sangat cantik. Dan kelelahan, tentunya.
“Siapa namanya, Sin? Kasih nama jangan yang ada mirip-miripnya kayak nama bapaknya ya. Nanti jelek kayak bapaknya. Hahaha”
Dan seisi ruangan pun menggelegar dengan tawa.

Jakarta, satu tahun lalu

Tiba-tiba terlintas sebuah ide gila di kepalaku. Sebuah ide yang dapat merubah hidupku, selamanya. Kuhubungi Sinta dengan ponselku.
“Halo, Sinta. Ketemuan di café sebelah kantorku, bisa?”
“Bisa kok. Ada apa ya?”
“Ada hal penting yang harus aku bicarakan. Tanpa Joe. Pukul lima.”
Kumatikan ponselku, dan aku meluncur langsung ke lokasi. Menunggunya hingga ia tiba. Meskipun mau tidak mau harus kutunggu selama dua jam sampai waktu menunjukkan pukul lima.
“Kamu dimana? Sudah jam lima dan aku tidak melihatmu disini.”
“Lima menit, aku sedang di toilet.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku terbangun dan aku melihat Sinta menangis.
“Aku minta maaf, Sin. Aku rasa hanya ini caranya agar aku bisa bersamamu. Kamu pun semalam mengakui bahwa kamu masih ingin bersamaku. Bukan dengan Joe.”
“Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini?”
“Iya, aku minta maaf.”
“Kamu nyampurin apa di minumanku? Kamu JAHAT!”
“Enggak ada apa-apa. Enggak ada yang aku campur.”
“Ngaku deh kamu. Ini rasanya seperti amphetamine. Tiba-tiba kepala aku seperti bercabang, muka aku kayak ditarik-tarik. Kamu masukin berapa banyak, Boby?”
“iya, iya aku ngaku. Aku masukin dua pil yang telah aku gerus ke air minuman kamu. Tepat pada saat kamu ke toilet untuk yang kedua kalinya.”
“Untuk apa Boby? Tanpa itu, aku pun akan mengakui bahwa aku ingin bersama-sama kamu. Tapi kamu tau, kita tidak akan pernah bisa bareng-bareng lagi. Aku sudah akan menikah dengan Joe. Kamu tau itu, Boby.”
“Iya aku minta maaf” hanya itu yang bisa kuucapkan. Permohonan maaf. Sampai Sinta berlari mengenakan bajunya dan meninggalkanku.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kring kring. Kring kring. Kring kring.” Ponselku bordering dengan kencangnya. Suaranya cukup untuk membangunkanku yang sedang tertidur di meja kerjaku.
“Ya halo. Jam dua malam lho ini, ada apa Sinta?”
“Aku hamil. Sudah memasuki bulan ketiga. Dan kamu harus bertanggung jawab.”
Tetiba pikiranku melayang-layang. Ke arah masa lalu dan berlari menuju masa depan. Teringat apa yang terjadi tiga bulan lalu, bagaimana respon dia setelah kejadian itu yang benar-benar sangat menghindar dariku. Sampai terbayang betapa senangnya jika aku benar-benar menikah dengan Sinta.
“Aku hamil Boby. Kamu harus tanggung jawab.”
“Iya. Aku pasti tanggung jawab.”

Jakarta, hari ini, 27 Februari 2013

“Kamu aku beri nama Semesta. Tumbuhlah besar dan banggakan kami sebagai orang tuamu.”
Terima kasih Semesta.

2013-02-25

Celotehan Sore Hari

Banyak yang terjadi belakangan ini. Teman-teman sudah banyak yang memutuskan untuk mulai ‘berduet’ dengan pasangannya.
Hari ini, di jam ini, seorang teman menanyakan tentang kebenaran keputusannya untuk meninggalkan jalur ‘solo’-nya.
“Menurutmu aku sudah pantas belom untuk menikah, menjadi istri sekaligus menjadi seorang ibu buat anak-anakku nanti?”
Sebuah pertanyaan tolol. Seharusnya pertanyaan ini ada di saat kamu mengiyakan ajakan untuk menikah. Kalau sudah mengiyakan seharusnya kamu sudah siap untuk menjalani kehidupan secara ‘duet’. Dan di kata ‘pantas’ seharusnya cuma kamu yang bisa jawab.
Orang lain, termasuk teman, bahkan orang tuamu pun tidak akan tahu sebanarnya dirimu. Mereka hanya sebatas di permukaan. Sekali lagi, Kapabilitas dan Kepantasan cuma kamu sendiri yang bisa menggali dan mengetahuinya.
Harusnya kamu yakin, Tuhan selalu punya cara yang menarik untuk mengejutkanmu.
Percaya, dan lakukan apa yang menurutmu benar. Jangan sampai dijerat oleh kejamnya penilaian orang lain.

Anugrah Dwi Priadi

.

Posisikan dirimu sebagai teman, jika dia temanmu.
Posisikan dirimu sebagai sahabat, jika dia sahabatmu.
Posisikan dirimu sebagai saudara, jika dia saudaramu.
Posisikan dirimu sebagai kekasih, jika dia kekasihmu.
Posisikan dirimu sebagai suami/istri, jika dia suami/istri-mu.
Tapi jangan pernah kau posisikan dirimu sebagai dia.
Karena, kita tak akan pernah sama.

2013-02-01

Ironi

'Aku akan ke Semarang hari ini, dan tiba di Semarang Tawang jam 4 dini hari. Tunggu aku, Callista.'

Itulah bunyi pesan singkat pacarku yang bersikeras menyambangiku di Tembalang di tengah-tengah kesibukannya. Ya, dia telah bekerja. Seorang abdi negara yang berintegritas di sebuah kementrian paling populer akibat hadirnya remunerasi paling tinggi. Obi namanya. Kami beda tiga tahun dan menjadikannya lebih dapat mengayomiku. Obi bekerja sebagai abdi negara sudah lima tahun. Walaupun, dia mendapatkan remunerasi baru dua tahun belakangan ini. Dia adalah seniorku di kampus. Aku yang sangat butuh bantuan untuk memperbaiki perangaiku menjadikan Psikologi menjadi jurusan pilihanku. Tapi, ternyata nasib berkata lain. Obi lulus dengan tepat waktu dan berpredikat sangat memuaskan, sedangkan aku selalu berkutat dengan bab tiga di skripsiku.

Tepat pukul empat dini hari kusambangi Semarang Tawang, tetapi Senja Utama (kereta bisnis jurusan Jakarta-Semarang) belum juga tiba. Kutunggu hingga lima belas menit dan tak ada pemberitahuan akan datang. Pengeras suara pun seakan membeku akibat dari dinginnya hari itu. Ku hubungi ponselnya, tiada jawaban. Ku kirimkan pesan singkat pun tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk duduk diam menunggu keretanya tiba.

Kutengok jam tanganku lagi, pukul setengah lima. Bersabar dan bersabar. Hanya itu yang dapat kulakukan demi menyambut kedatangan penunggu hati. Perasaanku mulai gelisah, mulai tak karuan. Mulutku pun ikut berbicara tak karuan mengkhawatirkan kedatangannya.

Dan, sudah pukul lima.

Ku hubungi terus ponselnya, ku kirimkan pesan singkat sebanyak yang aku bisa. Pikiran buruk pun mulai tercetus. Mulai dari anjloknya rel kereta sampai terbakarnya semua gerbong kereta. Aku benar-benar mengkhawatirkannya. Aku takut terjadi hal-hal yang mulai menghantui pikiranku. Aku akan sangat merasa bersalah apabila Obi terluka di tengah perjalanannya ke sini. Karena, aku yang membuatnya ke sini. Aku lah alasannya ke sini. Kerinduanku padanya yang membawanya menempuh perjalanan beratus-ratus kilometer ke sini.

Dan, sudah pukul enam.

Kutanyakan kepada petugas apakah Senja Utama akan datang. Dan jawabannya hanya satu kata padat dan jelas. Iya. Saat kutanyakan kembali kenapa sampai saat ini belum tiba, jawabannya pun mengecewakan. Kami tidak tahu, kami kehilangan kontak. Hatiku makin tak karuan. Hatiku berdegup semakin kencang dan pikiranku makin sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Aku semakin panik. Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu keluar. Kutanyakan kecemasanku pada setiap petugas yang kutemui, jawabannya pun tetap tak dapat memuaskan kebutuhan pikiranku. Aku butuh kepastian. Kepastian Obi akan datang. Bahkan, saat ini ponselnya sudah tidak aktif. Aku semakin gila. Aku mulai mengambil rokokku. Kuhisapnya satu demi satu, batang demi batang tak henti. Aku tidak mau orang yang paling aku sayang melebihi diriku sendiri meninggalkanku untuk selama-lamanya.

Dan, sudah pukul setengah tujuh.

Kuputuskan untuk menghubungi sanak saudara dan kerabatnya yang ku kenal. Dimulai dari orang tua, kakak, adik, sepupu, teman satu kos, bahkan mantan pacarnya pun tak luput untuk kuhubungi. Jawaban mereka tetap sama, tidak tahu. Kepanikanku mulai menjadi. Kulihat sekitarku, seakan hari ini stasiun ditutupi awan kelabu. Tetapi hanya aku yang menampakkan wajah kecemasan. Iya, hanya aku. Aku yang adalah insan nonsosial akhirnya memutuskan untuk bertanya pada sekelilingku. Mereka tampak tenang. Dan jawabannya kompak sama. Keretanya sedang terhalang longsor dan mengalami keterlambatan sampai Semarang Tawang.

Tepat pukul tujuh dan aku sudah mulai tenang.

Berkat jawaban orang di sekelilingku, hatiku pun mulai tenang. Aku mulai menata kembali gambaran hatiku yang kelam. Kuwarnai dengan warna cerah yang menenangkan. Aku mulai menyimpulkan. Kereta terlambat dan Obi baik-baik saja. Hanya saja, ponselnya sedang tidak aktif dikarenakan kehabisan daya.

Dan, pukul setengah delapan.

Pengeras suara mulai mencair. Akhirnya dia menyuarakan keinginan orang-orang seperti ku. Orang-orang yang sedang menanti. Bahwa Senja Utama akan tiba. Aku pun bersiap di depan pintu keluar. Sembari merapikan rambut dan pakaianku, aku ingin menyambutnya dengan penampilan yang menyejukkan. Yang cukup membuatnya tersenyum puas setelah perjalanannya.

Kuperhatikan semua orang yang berjalan meninggalkan stasiun. Satu demi satu. Berharap Obi akan muncul di pelupuk mata.

Dan, pukul delapan.

Semua orang yang datang tak ada yang berperawakan seperti Obi. Kuputuskan menunggu kembali beberapa menit. Mungkin dia sedang di toilet. Kutunggu dan terus kutunggu. Tapi tetap nihil. Tidak ada Obi. Apakah dia tidak pernah menaiki kereta ini? Apakah dia membatalkan kedatangannya? Apakah dia ........?

Dan, pukul setengah sembilan.

Dengan tangan hampa dan penuh rasa kecewa, ku tinggalkan Semarang Tawang untuk kembali ke kediamanku. Hatiku hancur. Berserakan dan takkan pernah bisa kembali utuh. Mengapa dia begitu tega membiarkanku merasakan hal seperti ini? AKU MARAH.

Begitu sampai di kediamanku, kuambil ponselku dan hendak ku lemparkan ke dinding kamarku. Agar nasibnya sama dengan hatiku, berserakan. Ketika hendak ku lempar, kutengok sekali lagi ponselku. Dan ternyata ada pesan singkat. Pesan singkat dari Obi. APA? OBI MENGIRIMIKU PESAN SINGKAT? Berani sekali dia. Kubuka pesan singkat itu dan kubaca. Dan hatiku kini telah tiada.

'Sayangku, Callista. Aku minta maaf. Hari ini aku menikah. Aku hendak melarikan diri untuk menemuimu dan menghilang dari tanggung jawabku, tapi aku tidak bisa. Maafkan aku, Callista. Ini hanya sebuah kecelakaan yang harus kutebus akibatnya. Aku telah mempunyai calon bayi berkelamin laki-laki. Dan keluargaku sengaja tidak memberitahukanmu yang sebenarnya saat kamu menghubungi mereka.'

AKU BENCI KAMU, OBI! DAN AKU BENCI LAKI-LAKI

2013-01-31

Transisi Norma

Ini adalah sebuah tulisan tentang cerita perjalanan. Tentang bagaimana kehidupan kupu-kupu malam yang tak selamanya kelam.
Kusambangi kediaman mereka, sebuah rumah dengan banyak pintu.

Kamar pertama menyediakan kesenangan, alunan musik membahana dengan sajadah terbuka disertai dengan tasbih dan mukena di atasnya.
Kamar kedua menyediakan suguhan keindahan dengan alunan surah yasin dibacakan.
Dan kamar ketiga menyediakan kumpulan kecantikan, kemolekan, dan kesempurnaan bertabur ayat-ayat Quran sedang dibacakan.

Bergetar hati menyimpulkan. Begitu kejamnya dunia memberikan godaan.

2013-01-03

Rindu Berbalas



'Tok tok tok', terdengar ketukan pintu dari kejauhan. Mungkin tamu, tamu sebelah rumah. Tapi suaranya semakin keras. Semakin lama semakin kencang.

'Callista, bukain pintu dong. Kebelet nih.'

Ternyata Dreya yang mengetuk. Tapi, kemana kunci rumahnya?

'Iya, iya. Sebentar.'

'Kemana si kunci rumah kamu? Untung tidak kupanggilkan satpam. Hampir kukira kau orang gila.' Kicauan setengah meracau yang keluar dari mulutku sembari membukakan pintu.

'Mana ada orang gila secantik aku, Callista' ujar Dreya sembari berlari menahan desiran dalam kemaluannya yang akan tumpah.

Dreya benar.  Dialah wanita tercantik yang mungkin kulihat di muka bumi. Layaknya alien dari planet bidadari yang mencoba menginvasi kesadaranku. Mencoba menghantuiku dengan teror super manis dan dewasa. Membimbingku menjadi alien dalam diriku yang berantakan dan tak terurus.

'Heh! Jangan bengong, nanti makin kesambet.'

'Hah? Makin kesambet? Maksudnya aku lagi kesambet?'

'Iya, kesambet setan serampangan. Tuh, hidup kamu aja serampangan.' ujarnya sembari berlari ke kamar mandi. 

Yang Dreya katakan benar. Seratus persen benar. Aku memang serampangan. Dan aku percaya, Dreya dikirimkan Tuhan untuk membenahi hidupku.

'Callista, makan dulu. Aku sudah membelikanmu mie aceh kesukaanmu. Aku tahu, kau pasti belum makan.'

Tanpa mengucapkan apa-apa, langsung ku tinggalkan rokok di asbak meja ruang tamu tetap menyala dan berlari menuju meja makan.

'Kau memang seperti Ibu Peri, Drey. Aku sedang lapar-laparnya.'

Seperti ada koneksi tanpa batas, batin kita selalu terhubung. Aku memang sedang ingin makan mie aceh. Dan aku lapar sekali.

'Hei, kenapa kau tidak makan Drey? Ayolah, bisa habis ini kumakan sendiri.'

'Aku sudah makan Callista. Aku sengaja membelikan ini untukmu. Aku tau kamu sedang lapar.'

Dreya tidak makan sedikit pun. Dia hanya memperhatikanku melahap dua bungkus mie aceh di seberang meja makan. Sambil tersenyum kecil, Dia meninggalkan meja makan untuk mengambilkanku minum dan pindah duduk di sampingku.

'Kenapa sih kamu ngeliatin aku sambil senyum? Aku aneh, ya?'

Kuperhatikan dandananku yang masih mengenakan baju kerja. Kemeja biru, dengan blazer biru tua sebagai luaran dan celana panjang biru tua. Lantas, kuperhatikan pakaian yang dikenakan Dreya. Sebuah kemeja berbahan katun corak bunga, dengan rok selutut berwarna hitam. Sebuah padanan yang pas untuk kulitnya yang kekuningan tanpa cela sedikitpun. Wajahnya yang cerah berseri dan rambutnya yang hitam lurus terawat menambah daya tariknya. Ya, kami memang bertolak belakang. Aku berkulit coklat, dengan rambut sedikit ikal. Walaupun berat dan tinggi kita hampir sama, tapi Dreya lebih tampak bagaikan seorang super model ketimbang aku yang seperti gadis desa, entah desa belahan Indonesia bagian mana.

'Tidak. Kau begitu lahap, hingga mulutmu penuh dan ngomongmu pun terdengar seperti deruman bajay. Pelan-pelan makannya Callista. Nanti kau bisa tersedak.'

Ku lemparkan senyum termanis kepadanya dan melanjutkan makanku.

Tak terasa dua jam berlalu. Kuperhatikan jam dinding di ruang tamuku, pukul sepuluh. Ruang tamu adalah tempat terbaikku di dalam rumah ini. Tempat ku menghayalkan lamunanku. Lamunan akan masa depan, ataupun penyesalan masa lalu. Layaknya seorang dukun, rokok putih dan kopi hitam selalu menemaniku di atas meja ruang tamu. Sofa yang nyaman dengan bahan dari kulit dipenuhi oleh busa di dalamnya menambah kenyamananku di tempat ini. Terkadang ditemani Dreya. Tapi saat ini Dreya telah terlelap di dalam kamarnya. Mungkin dia letih akan pekerjaannya. Akan kuhabiskan sebatang rokokku ini, dan kucium keningnya. Sebagai penghargaan dan tanda kasih sayangku padanya.

Hari telah berganti. Sekarang pukul delapan hari Rabu tanggal 24 Desember, dan kami cuti hingga tanggal 7 Januari. Bukan karena ingin merayakan natal, lebih karena ingin melepaskan penat.

'Pagi Dreya, kau tampak lelah pagi ini.'

Dreya selalu melakukan pekerjaan rumah. Dia bangun pagi sekali, pukul lima. Menyapu, mengepel, mengelap perabotan dan membereskan semua yang berantakan.

'Makan Callista, aku sudah membuatkanmu sarapan. Pancake.'

Pancake, menu sarapan favoritku. Dan kita pun makan bersama.

'Sebentar lagi tahun baru, mau liburan bersama?'

'Boleh saja, kemana?'

'Semalam kulihat akun DevianArt milikku, ada komen di foto pantai tangsi yang kuunggah. Komen dari sahabat dunia maya di Lombok. Gede namanya. Dia mengajakku tahun baruan di sana. Kemping di atas bukit. Pasti akan menyenangkan.'

'Boleh saja, tapi bagaimana dengan peralatan dan perlengkapannya?'

'Kau tidak usah khawatir, Dreya. Dia bersedia mempersiapkan segalanya di sana. Kita hanya tinggal membawa diri, pakaian dan beberapa barang pribadi seperlunya.'

'Baiklah. Kapan kita berangkat?'

'Aku juga sudah membelikan kita tiket, Selasa depan kita berangkat. Dan tanggal 6 kita sudah kembali ke sini. Kita akan menjelajahi Lombok. Gede berjanji padaku akan mengantarkan kita berkeliling ke tempat apapun yang kita mau.'

'Selasa depan? Tanggal 30?'

'Iya, ada apa Dreya? Kau tampak tidak senang?'

'Tidak, tidak ada apa-apa. Terima kasih Callista.'

Sembari melemparkan senyum, wajahnya berbicara. Seakan ada yang mengganjal. Ada yang disembunyikan. Mungkin hanya perasaanku. Dia pasti senang dengan rencanaku.

-----------------------------------------------------------

'Kamu udah berkemas, Drey? Kenapa tas kamu masih kosong? Ayo Drey, sekarang sudah larut dan besok kita penerbangan paling pertama. Kita harus bergegas tidur agar tidak ketinggalan pesawat.'

'Sepertinya aku tidak jadi berangkat besok, Callista. Aku menyusul.'

'Tapi Drey, kenapa? Kita sudah merencanakan semuanya. Sarapan di Mataram, makan siang di Kuta, bermalam di Pantai Tangsi, bermain air di Gili. Kenapa Drey? Ada apa?'

'Aku harus masuk kerja, Callista. Ada laporan tahunan yang harus kukerjakan. Ini adalah syarat dari atasanku agar aku bisa cuti hingga tanggal tujuh. Maafkan aku, Callista. Aku tak ingin membuyarkan kesenanganmu di malam itu.'

'Dreya, aku kecewa. Aku sedih. Aku marah.'

'Maafkan aku Callista, aku berjanji akan datang. Tepat sebelum malam pergantian tahun. Aku janji, Callista.'
Kalimat terakhir disertai sebuah pelukan yang meluluhkan amarah dan kekecewaanku.

'Tapi kamu harus janji, Dreya. Jangan kecewakan aku.' Tangisku pun tumpah tak karuan. Air mata mengalir dengan deras. Tak ketinggalan sesenggukan yang menjadi-jadi.

'Iya, Callista. Aku janji. Aku takkan mengecewakanmu kali ini.' ujarnya disertai belaian lembut di punggungku sembari mendekapku semakin erat.

Setengah jam kutumpahkan air mata di pundaknya. Setengah jam pula tak kulepaskan dekapannya dari tubuhku. Kukumpulkan aroma tubuhnya, sebagai obat rinduku ketika kita terpisah berkilo-kilo jarak.

Keesokkan harinya, ku pun berpamitan dengan Dreya. Ku pandang wajahnya, ku amati setiap lekuk tubuhnya. Walaupun hanya dalam hitungan hari kita berpisah, tapi rasanya akan seperti beberapa tahun berpisah.

'Aku pergi dulu ya, Dreya, kamu harus menepati janjimu. Harus!'

'Aku pasti menepati janjiku, Callista.'

Setelah berpelukan beberapa menit, aku pun meninggalkan Dreya di depan pintu rumah. Meninggalkannya menuju taksi, menuju bandara, dan menuju Lombok. Sembari menahan tangis, kubuka kaca pintu taksi, aku tersenyum. Melambaikan tangan, dan benar-benar meninggalkannya.

Tepat pukul sebelas WITA, aku tiba di Praya, Bandara Internasional Lombok. Kulewati semua pintu di bandara.

'Callista, Callista.'

Terdengar sayup-sayup suara memanggilku tepat setelah aku melwati pintu terakhir. Kucari ke kanan dan ke kiri. Dari mana asalnya suara itu. Kucari lagi, tidak ada sesosok Gede sepanjang penglihatanku. Kucoba cari lagi. Kali ini ku putari pelataran bandara. Tetap tak ada.

'Callista, hei Callista. Sini, ke arah sini Callista.'

Suara itu masih terdengar. Sampai semakin dekat, semakin dekat, lebih dekat, dan 'Hei, aku panggil kamu dari tadi.' Ternyata asal suaranya di belakangku. Suara sedikit bass dengan logat gaya bicara seperti orang Bali. Gede.

'Hai. Astaga, aku cari kamu dari tadi. Ke kanan, ke kiri. Mencoba mencocokkan wajahmu di foto avatar DevianArt milikmu. Tapi tak ada hasil. Ternyata kamu di belakangku, toh.'

'Iya, aku sengaja tidak menyambangi kamu. Hanya memanggil. Pengen tahu, kamu mencari aku atau tidak. Hehe'

Kuperhatikan dengan seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambutnya yang pendek dibiarkan setengah berdiri persis dengan ingatanku. Tapi, wajahnya sedikit berbeda. Sekarang ditumbuhi kumis dan jenggot lebat, seakan bergaya mafia Italia. Wajah yang maskulin. Hidung mancung, mata besar, persis wajah asli Bali seperti avatar DevianArt yang kukenal. Kuperhatikan lagi tubuhnya. Dia mengenakan kaus oblong dengan merk perlengkapan surfing tergambar di dada dan celana jeans belel dengan potongan lurus agak kebesaran. Badannya cukup atletis. Oh, wajar. Dia anak pantai, pikirku.

'Hei, kamu ngeliatin apa? Ada yang aneh? Beda sama di avatar ya?'

'Sebentar, aku cek dulu.'

Segera ku ambil telepon genggamku. Kucoba telepon nomor yang telah kusimpan dengan nama Gede.

'Kring, kring, kring' bunyi telepon genggam monokrom milik Gede.

'Kamu nelepon aku? Buat apa? Kita kan sudah bertemu.'

'Tidak papa. Aku kira kamu bukan Gede.'

'Sekarang percaya? Ayo, kita harus makan siang. Aku nungguin kamu dari tadi. Kamu sudah sarapan?'

'Belum, lapar.'

'Yasudah, ayo kita makan. Kita makan di tempat makan paling murah dan paling enak di Mataram.'
Ternyata dia masih ingat dengan permintaanku. Aku minta padanya agar makan di tempat yang murah-murah.

'Sudah, jangan terlalu banyak mikir. Ayo jalan!' katanya sembari merangkulku.

Kami masuk mobil, dan memulai pembicaraan. Pembicaraan seperti kawan lama yang telah lama tak bertemu. Ya, kita memang telah lama kenal. Tapi hanya dalam dunia maya. Tepatnya di tahun 2008. Dan sekarang, tahun 2012.

'Kata kamu kemarin, kamu berdua sama teman kamu. Kemana teman kamu? Gak jadi ikut?'

'Jadi, tapi dia menyusul. Masih ada pekerjaan di Jakarta.'

'Oh begitu. Nah, ini dia warung makan murah dan paling enak di Mataram.'

Sebuah warung makan sederhana. Lebih mirip seperti warteg di Jakarta. Sekitar 30 menit dari Praya.

Satu piring penuh telah habis. Waktu pun tak terasa telah menunjukkan pukul satu siang. Ternyata Gede orang yang supel. Dia adalah orang asli Bali peranakan Lombok. Bapaknya asli Bali, Ibunya asli Lombok. Umurnya baru 24 tahun, terpaut 2 tahun lebih muda dari umurku yang 26 tahun. Sejak lulus SMA, dia merantau sendirian ke Bali untuk bekerja. Awalnya menumpang hidup di tempat pamannya. Setelah mendapatkan pekerjaan, dia memilih tinggal sendiri di daerah Legian. Sebuah kos kecil dekat dengan tempatnya bekerja, pijat refleksi. Saat dia bekerja di tempat tersebut, dia bercerita bahwa tak jarang dia harus memuaskan nafsu birahi para tamu tempat dia bekerja yang kebanyakan turis-turis asing. Dia juga bercerita bahwa dia pernah mempunyai kekasih turis asal Jepang selama enam bulan. Sampai kekasihnya kembali ke negeri asalnya. Dua tahun dia bekerja di tempat itu, dia memutuskan berhenti dikarenakan terlibat perkelahian mulut dengan atasan barunya.

Selepas berhenti bekerja di tempat refleksi tersebut, dia memutuskan bekerja sebagai pemandu perjalanan di tempat agen perjalanan milik pamannya. Dia pun bercerita bahwa dia terkadang menjual 'jamur ajaib' kepada turis-turis asing tamunya. Tetapi berdasarkan pesanan. Setelah tiga tahun berlalu, dia memutuskan kembali ke Lombok. Hasil dari lima tahun perantauannya, dia berhasil menabung untuk membeli sebuah Toyota Avanza keluaran tahun 2010. Dengan tujuan untuk membantu Bapaknya yang seorang petani agar bisa lebih mudah untuk memasarkan hasil pertaniannya ke seluruh Lombok.

'Mau kemana lagi kita? Aku mengikuti saran kamu saja, De.'

'Oke, kita ke rumahku terlebih dahulu. Menginap satu hari di rumahku, mempersiapkan segala sesuatunya, dan berangkat pagi-pagi sekali ke Tangsi. Setuju?'

'Oke deh. Aku ikut saja. Rumahmu masih jauh dari sini? Dari rumahmu ke Tangsi masih jauh lagi?'

'Lumayan, satu jam. Dari rumahku sampai Tangsi, satu setengah jam'

Wow, berarti jauh untuk ukuran sebuah kota kecil, pikirku. Tak apalah, untuk sampai ke pantai idamanku. Sebuah pantai dengan pasir berwarna merah muda, dan dikelilingi bukit di kanan kirinya. Ditambah lagi ada bukit karang menjulang di tengah lautan. Sebuah pemandangan yang indah dalam foto hasil pencarian di internet.

Perjalanan Mataram menuju tempat Gede tinggal dihiasi pemandangan yang asri. Walaupun sedang musim panas, tetapi tetaplah asri. Pepohonan di mana-mana. Sawah di kanan kiri. Benar-benar pemandangan yang takkan pernah kutemukan di Jakarta. Satu jam berlalu, waktu kuhabiskan untuk melihat pemandangan di kanan kiri. Tanpa berbicara sedikit pun.

Sampai juga akhirnya di rumah Gede, tepat pukul dua lebih lima belas menit. Sebuah rumah sederhana tanpa pagar dengan warung di depan rumahnya dan cat yang berwarna hijau muda.

'Hah, sampai juga akhirnya. Ayo masuk. Capek, Callista?'

'Lumayan, tapi terbayarkan. Aku suka banget pemandangannya tadi.'

'Iya, aku perhatikan kamu sampai terpesona melihat jalanan. Makanya, aku tidak mau mengganggu kekaguman kamu tadi.'

'Lagian, tak pernah kujumpai pemandangan seindah itu di Jakarta. Aku kagum.'

'Yah, begitulah Callista. Oh iya, kamu istirahat dulu. Itu, kamar yang diujung bisa kamu pakai.' katanya sembari menunjuk sebuah kamar berukuran 2x3 meter dengan cat berwarna putih sedikit kusam dan furniture lawas di dalamnya.

'Iya De. Badanku rasanya capek. Mau rebahan sebentar.'

'Silahkan. Kamar aku ada di depan, Bapak dan Ibu lagi di sawah. Kamu tidur dulu, kalau butuh apa-apa tinggal keluar. Nanti sore mereka pulang.'

Tanpa berbicara lagi, aku masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Gede, menutup pintu, dan langsung membiarkan tubuhku ambruk sejadi-jadinya di atas tempat tidur yang sedikit usang di depanku.

'Mbak, Mbak Callista, bangun mbak. Makan malam sudah siap. Mbak, Mbak Callista.'

Kulihat jam tanganku, sudah jam delapan malam. Kuputuskan tetap membenamkan diriku dalam lelap. Aku ingin meninggalkan kenyataan. Kenyataan bahwa Dreya tak ada di sampingku.

Hari berganti. Tanggalan pun bertambah. Hari ini tepat tanggal 31 Desember. Besok sudah 2013. Kutengok telepon genggamku, pukul delapan pagi dan tak ada pesan singkat dari Dreya. Ya, selamat Callista. Kau telah terlupakan. Kesedihan makin menjadi. Kemarahan berlipat. Tak ada harapan. Tak ada ucapan selamat pagi. Tak ada orang yang selalu kulihat di pagi hari. Aku rindu sekali, Dreya. Aku sangat sangat rindu. Aku rindu pancake buatanmu. Hatiku menangis, pikiranku kacau, bertanya-tanya kabarmu, Dreya.

'Mbak, mbak. Mbak Callista, bangun mbak. Sarapan.'

'Iya, bu. Sebentar.'

Kubuka pintu kamar tempatku, dan semua telah berkumpul. Ada empat orang di depanku, seorang lelaki paruh baya, dua perempuan, paruh baya dan seumuranku, dan Gede. Tak heran mereka berkumpul di depanku. Kamar tempatku tepat di depan ruang tengah dengan dapur dan kamar madi di samping kamar tempatku. Tak ada meja makan. Mereka makan bersama berlesehan ria. Sebuah kebersamaan kekeluargaan yang hangat. Sesuatu yang telah lama tak kurasakan.

'Mari mbak. Kita sarapan bersama.' kata ibu paruh baya kepadaku.

'Ibu, Bapak, Kak, ini Callista. Temanku dari Jakarta' ujar Gede memperkenalkanku pada keluarganya.

Langsung aku menyalami mereka satu persatu. Dan duduk di samping Gede.

'Capek banget ya mbak? Tadi malam saya bangunkan untuk makan malam, tapi tampaknya Mbak Callista tidak bangun' kata lelaki paruh baya yang kuduga sebagai pemimpin keluarga kecil ini.

'Iya, Pak. Saya ketiduran dari siang. Ketika bangun, sudah pagi.'

'Yasudah, ayo kita makan dulu.' Lanjut lelaki tersebut.

Kita makan bersama. Berlima. Dengan lauk seadanya, tempe dan tahu goreng. Terasa sekali kehangatan keluarga ini. Mereka tampak bersahaja. Sedikit terlupakan kesedihanku akan kehilangan Dreya.

Sesudah makan, aku berpamitan pada mereka, meninggalkan obrolan senda gurau untuk mandi membersihkan badanku.

'Callista, aku tunggu jam sebelas di depan ya. Kita langsung berangkat ke Tangsi.' Kulihat jam tanganku, sudah pukul sepuluh. Tak terasa dua jam kami makan sambil bersenda gurau.

'Iya De. Aku mandi lima menit, pake baju lima menit, sisiran lima menit dan siap berangkat.'

Lima belas menit kemudian, saya siap berangkat. Tepat lima belas menit.

'Ayo, saya siap. Bapak, Ibu, Kakak, saya berangkat ya.' Aku berpamitan kepada tiga orang yang masih asik bersenda gurau di depan kamarku. Kusalami mereka semua dan kita, aku dan Gede, masuk ke dalam mobil.

Dalam perjalanan menuju Tangsi, jalannya tak karuan. Setengah jam melewati jalanan aspal, dilanjutkan dengan jalanan bermedankan tanah dan bebatuan di tengah hutan.

'Mobil kamu tidak apa-apa De melewati jalan seperti ini?'

'Tidak apa-apa, Callista. Sudah biasa. Aku biasa menyendiri di Tangsi ketika hatiku sedang gusar.'
Pas. Pas dengan suasana hatiku yang gusar.

Satu jam melewati tanah dan bebatuan telah lewat. Mobil yang kami naiki memasuki sebuah gang dengan kanan kiri semak tinggi yang jarak di antaranya hanya cukup untuk satu mobil.

'Mbak, merem.'

'Ada apa? Saya tidak mau.'

'Aku ada kejutan.'

'Tidak, saya tidak mau.'

'Ayo. Aku janji, ini kejutan yang tidak akan membuat kamu kecewa.'

'Aku ti-dak-ma-u.' ujarku seraya sedikit kesal.

'Aku mohon.'

'Kalau sampai membuatku makin marah, lebih kau antarkan aku ke bandara.'

'Iya, Callista. Aku janji'

Kututup mataku. Mungkin dua puluh menit telah lewat. Tak ada instruksi untuk membuka mata.

'Sekarang buka Callista'

Akhirnya instruksi yang kutunggu datang. Kubuka mataku, dan aku terkejut. Sebuah pantai dengan pasir taburan berlian berwarna merah muda terpantul bercahaya terkena sinar matahari. Laut yang mengayun pelan seakan menari. Seakan ada langit berpindah karena warna birunya yang sangat menggoda. Bukit yang hijau di kanan kirinya. Di tambah bukit karang tinggi menjulang, persis seperti Tanah Lot di Bali.

Aku pun berlari kegirangan. Kucium aroma pasir, kubasuh wajahku dengan air biru di depanku, dan aku benar-benar senang. Aku senang tak karuan. Pantai idamanku. Tempat yang dahulu hanya cita-cita, sekarang telah berhasil kusambangi. Kutiduri berlian-berlian berwarna merah muda yang indah ini. Kupejamkan mataku, seakan tak percaya. Mencoba menyadarkanku dari mimpi. Makin kupejam, sinar matahari seakan makin menggigitku. Panas. Kubuka mataku, aku masih berada di sini. Pantai idamanku. Dan ternyata, Gede sudah berbaring tepat di sampingku.

'Kamu tidak sedang bermimpi, Callista. Kita benar-benar telah sampai di Pantai Tangsi. Inilah tempatku menyendiri.'

'Aku benar-benar senang, De. Terima kasih kau telah membawaku kepada tempat yang indah ciptaan Tuhan idamanku ini.'

'Sama-sama Callista. Aku senang bisa bertemu. Akhirnya.'

Aku tau ada yang ganjil dengan ucapan Gede yang terakhir, tetapi aku tidak perduli. Aku terlalu sibuk dengan kesenanganku.

Tak terasa sekarang jam tanganku telah menunjukkan pukul delapan. Ku ambil telepon genggamku, pijit nomor wanita kesayanganku. Tapi, panggilanku tak ada yang menjawab. Apakah Dreya telah benar-benar melupakanku? Apakah Dreya terlalu sibuk untuk mengabariku? Apakah Dreya terlalu bahagia dengan orang lain? Apakah Dreya..

'Hei, kamu kenapa menangis Callista? Ada apa?'

'Tidak, De. Tidak apa-apa. Aku hanya terharu akhirnya bisa sampai di sini.' sebuah jawaban yang kubuat sekenanya. Untuk menyembunyikan kesedihan hatiku.

Tenda telah berdiri, api unggun telah menyala, dan kita duduk bersampingan menatap rembulan sembari menunggu ikan tangkapan tadi sore matang.

'Kamu tahu Callista, apa yang paling aku suka dari rembulan?'

'Aku tahu, rembulan begitu cantik. Begitu indah. Walaupun dari jauh, tapi aku tetap mengagumi rembulan.'

'Ya, kita sepaham. Persis seperti manusia. Manusia begitu indah dan elok dari luar. Tapi ada rahasia dibalik keindahan fisiknya. Rahasia yang juga indah atau buruk rupa, orang lain takkan pernah tahu. Begitu pula rembulan. Kita takkan pernah tahu sebenarnya bulan benar seperti pemberitaan di propaganda televisi atau tidak.'

'Tapi. Aku sedang rindu, De. Aku merindukan Dreya.'

'Kau tatap rembulan. Tatap dengan dalam. Katakan dalam hati bahwa kau merindukannya. Bulan akan menyampaikannya. Bulan akan menyampaikan rindumu kepada Dreya. Melalui keindahannya. Karena, kamu indah Callista. Seindah rembulan.'

Belum pernah aku mendengar kata-kata seindah ini. Mungkin pernah, tapi tidak pernah dengan perasaan sekalut ini. Rindu pada Dreya ditambah getaran pada Gede. Kurasa aku menyukai Gede. Tidak. Aku tidak menyukai Gede. Aku hanya terbawa suasana. Terbawa keindahan Tangsi dan rembulan di malam ini.

'Callista, ayo makan. Ikan bakar ala Gede.' ujarnya dengan melemparkan senyum. Senyum yang indah. Dia manis.

'Jangan bengong, ayo kita makan. Kamu kebanyakan bengong Callista. Tuh, perut kamu rata. Bukti kalau kamu harus makan.'

'Siap komandan!'

Kami pun makan. Makan di temani pemandangan bulan paling indah di tempat paling indah.

Waktu berlalu begitu cepat. Kutengok lagi jam tanganku, ternyata sudah pukul setengah dua belas. Setengah jam lagi. Setengah jam lagi tahun 2013. Setengah jam lagi. Seharusnya kita bersama, Dreya. Seharusnya kita merayakannya bersama. Seharusnya aku tidak pergi tanpamu, Dreya. Seharusnya aku tetap di Jakarta. Seharusnya aku bisa memelukmu.

'Callista, jangan kau tahan kesedihanmu. Biarkan air matamu tetap menetes dengan deras. Karena itulah tugasku. Aku yakin, aku dipertemukan denganmu untuk menghapus air matamu. Untuk menyeka kesedihanmu. Tugas yang suci dari Tuhan.'

Aku pun memeluknya. Gede. Bukan Dreya. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangis di pelukannya. Memeluknya erat. Dan takkan kulepas.

'Selamat tahun baru, Callista. Terima kasih telah menjadi kado tahun baru paling indah untukku.' bisiknya dengan lembut.

Kulepaskan pelukanku. Ku pandangi sekali lagi wajahnya. Ku tengok jam tanganku, benar. Saat ini tepat pukul 00.00. Hari ini sudah 2013. Kucari telepon genggamku, kurogoh sakuku, tak ada. Kucari ke dalam tenda, ku cari kedalam tas, tetap tak ada.

'Apa yang kau cari, Callista?'

'Telepon genggamku. Apa kau melihatnya?'

Aku keluar dari tenda, bermaksud meminta Gede membantu mencari.

'Lalu, yang menggantung di lehermu itu apa?'

Kuraba leherku. Tali. Kutelusuri tali di leherku. Dan benar, telepon genggamku.

'Maaf De. Aku sangat ingin menghubungi Dreya. Aku begitu panik.'

Tanpa mempedulikan Gede, ku telepon sekali lagi Dreya. Tak aktif. Telepon genggamnya tidak aktif. Kucoba sekali lagi. Tetap sama. Tetap tidak aktif. Mungkin aku benar-benar harus melupakan Dreya. Tapi, kau begitu tega Dreya. Kau memperlakukanku bagaikan orang asing. Bahkan kau tidak mengabariku. Mana janjimu, Dreya? Aku menunggumu Dreya.

Malam semakin larut. Hati pun semakin kalut. Namun entah mengapa, ada sedikit ketenangan setiap kali melihat Gede. Wajahnya yang keras tapi manis. Sedikit melupakan kekacauan hati karena Dreya.

'Kamu tidak tidur, De?'

'Tidak Callista. Aku masih ingin menatap rembulan.'

'Tapi ini sudah pukul tiga De.'

'Tak apa. Sekalian menjagamu dari luar tenda, Callista.'

'Baiklah. Aku tidur duluan.'

Akhirnya aku pun masuk tenda. Dengan perasaan makin kalut. Di otakku kali ini hanya ada Gede. Ada apa? Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan Gede dalam pikiranku. Aku seperti sedang jatuh cinta. Apa? Jatuh cinta? Tidak. Aku tidak mau. Aku hanya mau Dreya.

Semakin lama kusangkal, semakin aku tidak bisa melupakan Gede. Satu jam aku tidak bisa tidur. Hanya menyangkal tentang Gede dalam pikiran. Sampai akhirnya aku tertidur.

'Pagi Callista' betapa kagetnya ketika ku keluar dari tenda. Ada suara yang kukenal. Bukan Gede. Suara yang begitu lembut. Suara yang selalu ku suka. Ternyata Dreya. Dia di depanku. Tapi apakah aku bermimpi?

'Callista, aku minta maaf ya. Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku terlambat.' kata Dreya sembari memelukku.

Tapi aku masih mematung. Masih tidak percaya. Kucium aroma tubuhnya, mencoba memastikan. Dan ternyata ini Dreya. Dreya sungguhan.

'Aku menunggumu Dreya. Tahukah kau, aku begitu kalutnya menunggu kau. Aku takut kamu mengecewakanku. Aku takut kamu membohongiku dengan tidak menepati janjimu. Kau kuhubungi, tapi tidak menjawab. Bahkan tidak aktif. Aku khawatir Dreya. Aku benar-benar khawatir.'

'Aku tau Callista. Aku salah. Aku minta maaf Callista. Aku terlambat kare..'

'Sudah Dreya. Aku tidak perduli. Yang terpenting kamu sekarang di sini.'

'Terima kasih, Callista. Kau masih memaafkanku.'

Kulepaskan pelukan Dreya. Dan mencoba mencari di mana Gede.

'Kau sudah bertemu Gede, Drey? Dimana dia sekarang?'

'Iya, dia sekarang sedang menyiapkan peralatan untuk kita snorkling.'

'Tapi tapi, aku tidak bisa berenang Dreya.'

'Kamu tidak usah khawatir, Callista. Aku dan Gede akan menjagamu. Kamu akan pakai pelampung.'

'Dreya, Callista, turun ke pantai. Kita berangkat.' suara Gede dari kejauhan.

Kami pun turun dari bukit, menghampiri Gede yang telah siap dengan perlengkapan lengkap.

'Kalian kenakan kaki katak dan snorkle-nya. Khusus untuk Callista, pelampung ini juga harus kau kenakan.'

Setelah semua siap, kami naik ke atas kapal. Dan kami berangkat.

'Ya, ini spot yang paling bagus di sini. Kalian siap?'

'Tapi, tapi Drey. Aku, aku..'

'Tenang saja Callista. Aku dan Gede akan menjagamu.'

Kami bertiga pun turun ke air. Dreya benar-benar menjagaku. Dia memegang tanganku dengan erat. Bahkan sesekali memelukku dari belakang. Aku tidak perduli dengan apa yang ada di bawah air, aku hanya perduli pada apa yang Dreya lakukan.

'Callista, kau harus melihat ini. Ini begitu indah. Ikan warna-warni dan terumbu karang yang menakjubkan.' seru Gede di kejauhan.

Dia pun menghampiriku. Dan menarik tanganku. Terasa getaran menenangkan hati setiap kali kulit kita bersentuhan. Kami pun meninggalkan Dreya, sendirian.

Hari semakin sore. Kami telah berada di pinggir pantai. Bercanda, bersenda gurau, tertawa dan bermain pasir. Tampak keresahan di wajah Dreya. Ada apa? Apa lagi yang dia pikirkan? Apakah dia akan meninggalkanku sendirian?

'Kau kenapa Drey? Apa yang sedang kau pikirkan?'

'Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Aku tidak memikirkan apa-apa, sungguh.'

Aku tau Dreya sedang berbohong. Sedari tadi dia memperhatikan tingkahku dan Gede. Memperhatikan bagaimana kami bercanda. Memperhatikan perhatian Gede padaku dan bagaimana aku sangat nyaman di sampingnya.

Malam pun tiba. Menu makan malam kali ini adalah lobster. Tiga buah lobster yang besar. Hasil tangkapan Gede tadi siang. Dengan telaten, dia membuat api dan membakar lobster-lobster tersebut sampai siap kita makan. Sedangkan aku dan Dreya, sibuk berpelukan sembari bercanda di dalam tenda.

'Hei kalian, makanan sudah siap. Kalian tidak lapar?'

'Oke, sebentar De.' seru kami berbarengan.

Saat kami keluar tenda, kami begitu terkejut. Selain ada lobster, ternyata ada beberapa botol bir dan beberapa linting ganja. Apa-apaan ini? Kenapa ada beberapa barang itu?

'De, kok ada itu semua?' tanyaku pada Gede.

'Iya, kalian bisa gunakan itu semua. Bagi yang mau. Aku tidak memaksa. Tapi ini semua barang wajib ketika ku sedang menyendiri di sini.'

'Sudah, sudah Callista. Lebih baik kita makan. Kamu pasti lapar.'

'Iya Drey. Aku benar-benar lapar. Dari tadi grup drumband tak berhenti berbunyi di perutku.'

Lima belas menit, dan lobster-lobster itu pun habis tak bersisa. Gede seperti sedang tak nafsu makan. Dia hanya mengambil dua suapan kecil dengan tangannya.

'Makanmu sedikit sekali De? Ada apa? Kau tidak lapar?' Tanyaku padanya.

Tanpa menggubris sedikit pun pertanyaanku, dia sibuk meminum birnya dan menghisap selinting ganja.
Terlihat kesedihan yang mendalam di wajahnya. Kesedihan yang begitu terasa. Bahkan setiap orang yang melihatnya akan mengetahui bahwa dia sedang bersedih. Kutengok Dreya, dia sedang sibuk merapikan peralatan makan dan mencoba menyalakan api untuk kita.

'Aku menyukai rembulan, Callista. Tetapi sepertinya rembulan itu membelakangiku. Rembulan itu punya pujaannya sendiri. Rembulan lain, mungkin rembulan planet lain.'

'Kenapa tak kau kejar rembulan itu De?'

'Aku tidak mau menjadi punguk merindukan rembulan Callista. Aku tidak mau membuang-buang waktuku. Cukup melihatnya pun aku sudah senang.'

Aku tahu apa yang dimaksudkan oleh Gede. Aku tahu dengan persis. Dia menyukai ku. Tetapi, mungkin dia juga menyadari kedekatan aku dan Dreya. Betapa aku sangat kehilangan Dreya ketika dia belum ada di sini. Sejujurnya, aku pun sedang bingung. Aku bingung dengan hatiku. Aku pun menyukai Gede. Tapi, Dreya lebih dulu menginvasi hatiku. Kupikirkan lebih dalam, kurenungkan lebih lama, ternyata aku tak tahu. Aku tak tahu jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ada.

'Hei kalian, lagi ngebir? Aku minta satu boleh?'

'Boleh Drey, silahkan. Callista kalo mau, silahkan'

Kuperhatikan Gede tidak berhenti menghisap ganjanya. Linting demi linting. Kuhitung, telah tiga linting dia habiskan sendiri. Dia seperti sedang meninggalkan kenyataan.

'Maaf aku tinggal, aku mau tidur duluan.' Dan dia meninggalkan kami masuk ke tenda.

-------------------------------------------------------

Liburan kami telah masuk ke hari terakhir. Tanggal enam januari. Dan kami telah ada di bandara.

'Cepatlah kalian masuk. Batas waktu Check-in telah hampir habis. Sekarang sudah pukul delapan.'

'Iya, De. Aku dan Dreya mengucapkan terima kasih ya. Terima kasih telah menjadi pemandu.' Pemandu perjalanan dan pemandu hatiku ketika aku sedang kalut.

'Kapan-kapan kalau mau main ke Lombok, hubungi aku lagi ya Callista. Aku permisi.'

Gede pergi meninggalkan kami. Langkahnya gontai. Lesu. Aku melihat kesedihan di wajahnya. Aku melihat kehancuran di cara jalannya. Maafkan aku De. Hatiku telah terinvasi oleh Dreya. Aku minta maaf De.

'Ayo Dreya, kita masuk dan kembali ke rutinitas yang menjemukkan.'

'Ayo. Siapa takut. Tapi, asal kamu tidak meninggalkan aku, aku pikir takkan ada kata menjemukkan.'