2013-01-31

Transisi Norma

Ini adalah sebuah tulisan tentang cerita perjalanan. Tentang bagaimana kehidupan kupu-kupu malam yang tak selamanya kelam.
Kusambangi kediaman mereka, sebuah rumah dengan banyak pintu.

Kamar pertama menyediakan kesenangan, alunan musik membahana dengan sajadah terbuka disertai dengan tasbih dan mukena di atasnya.
Kamar kedua menyediakan suguhan keindahan dengan alunan surah yasin dibacakan.
Dan kamar ketiga menyediakan kumpulan kecantikan, kemolekan, dan kesempurnaan bertabur ayat-ayat Quran sedang dibacakan.

Bergetar hati menyimpulkan. Begitu kejamnya dunia memberikan godaan.

2013-01-03

Rindu Berbalas



'Tok tok tok', terdengar ketukan pintu dari kejauhan. Mungkin tamu, tamu sebelah rumah. Tapi suaranya semakin keras. Semakin lama semakin kencang.

'Callista, bukain pintu dong. Kebelet nih.'

Ternyata Dreya yang mengetuk. Tapi, kemana kunci rumahnya?

'Iya, iya. Sebentar.'

'Kemana si kunci rumah kamu? Untung tidak kupanggilkan satpam. Hampir kukira kau orang gila.' Kicauan setengah meracau yang keluar dari mulutku sembari membukakan pintu.

'Mana ada orang gila secantik aku, Callista' ujar Dreya sembari berlari menahan desiran dalam kemaluannya yang akan tumpah.

Dreya benar.  Dialah wanita tercantik yang mungkin kulihat di muka bumi. Layaknya alien dari planet bidadari yang mencoba menginvasi kesadaranku. Mencoba menghantuiku dengan teror super manis dan dewasa. Membimbingku menjadi alien dalam diriku yang berantakan dan tak terurus.

'Heh! Jangan bengong, nanti makin kesambet.'

'Hah? Makin kesambet? Maksudnya aku lagi kesambet?'

'Iya, kesambet setan serampangan. Tuh, hidup kamu aja serampangan.' ujarnya sembari berlari ke kamar mandi. 

Yang Dreya katakan benar. Seratus persen benar. Aku memang serampangan. Dan aku percaya, Dreya dikirimkan Tuhan untuk membenahi hidupku.

'Callista, makan dulu. Aku sudah membelikanmu mie aceh kesukaanmu. Aku tahu, kau pasti belum makan.'

Tanpa mengucapkan apa-apa, langsung ku tinggalkan rokok di asbak meja ruang tamu tetap menyala dan berlari menuju meja makan.

'Kau memang seperti Ibu Peri, Drey. Aku sedang lapar-laparnya.'

Seperti ada koneksi tanpa batas, batin kita selalu terhubung. Aku memang sedang ingin makan mie aceh. Dan aku lapar sekali.

'Hei, kenapa kau tidak makan Drey? Ayolah, bisa habis ini kumakan sendiri.'

'Aku sudah makan Callista. Aku sengaja membelikan ini untukmu. Aku tau kamu sedang lapar.'

Dreya tidak makan sedikit pun. Dia hanya memperhatikanku melahap dua bungkus mie aceh di seberang meja makan. Sambil tersenyum kecil, Dia meninggalkan meja makan untuk mengambilkanku minum dan pindah duduk di sampingku.

'Kenapa sih kamu ngeliatin aku sambil senyum? Aku aneh, ya?'

Kuperhatikan dandananku yang masih mengenakan baju kerja. Kemeja biru, dengan blazer biru tua sebagai luaran dan celana panjang biru tua. Lantas, kuperhatikan pakaian yang dikenakan Dreya. Sebuah kemeja berbahan katun corak bunga, dengan rok selutut berwarna hitam. Sebuah padanan yang pas untuk kulitnya yang kekuningan tanpa cela sedikitpun. Wajahnya yang cerah berseri dan rambutnya yang hitam lurus terawat menambah daya tariknya. Ya, kami memang bertolak belakang. Aku berkulit coklat, dengan rambut sedikit ikal. Walaupun berat dan tinggi kita hampir sama, tapi Dreya lebih tampak bagaikan seorang super model ketimbang aku yang seperti gadis desa, entah desa belahan Indonesia bagian mana.

'Tidak. Kau begitu lahap, hingga mulutmu penuh dan ngomongmu pun terdengar seperti deruman bajay. Pelan-pelan makannya Callista. Nanti kau bisa tersedak.'

Ku lemparkan senyum termanis kepadanya dan melanjutkan makanku.

Tak terasa dua jam berlalu. Kuperhatikan jam dinding di ruang tamuku, pukul sepuluh. Ruang tamu adalah tempat terbaikku di dalam rumah ini. Tempat ku menghayalkan lamunanku. Lamunan akan masa depan, ataupun penyesalan masa lalu. Layaknya seorang dukun, rokok putih dan kopi hitam selalu menemaniku di atas meja ruang tamu. Sofa yang nyaman dengan bahan dari kulit dipenuhi oleh busa di dalamnya menambah kenyamananku di tempat ini. Terkadang ditemani Dreya. Tapi saat ini Dreya telah terlelap di dalam kamarnya. Mungkin dia letih akan pekerjaannya. Akan kuhabiskan sebatang rokokku ini, dan kucium keningnya. Sebagai penghargaan dan tanda kasih sayangku padanya.

Hari telah berganti. Sekarang pukul delapan hari Rabu tanggal 24 Desember, dan kami cuti hingga tanggal 7 Januari. Bukan karena ingin merayakan natal, lebih karena ingin melepaskan penat.

'Pagi Dreya, kau tampak lelah pagi ini.'

Dreya selalu melakukan pekerjaan rumah. Dia bangun pagi sekali, pukul lima. Menyapu, mengepel, mengelap perabotan dan membereskan semua yang berantakan.

'Makan Callista, aku sudah membuatkanmu sarapan. Pancake.'

Pancake, menu sarapan favoritku. Dan kita pun makan bersama.

'Sebentar lagi tahun baru, mau liburan bersama?'

'Boleh saja, kemana?'

'Semalam kulihat akun DevianArt milikku, ada komen di foto pantai tangsi yang kuunggah. Komen dari sahabat dunia maya di Lombok. Gede namanya. Dia mengajakku tahun baruan di sana. Kemping di atas bukit. Pasti akan menyenangkan.'

'Boleh saja, tapi bagaimana dengan peralatan dan perlengkapannya?'

'Kau tidak usah khawatir, Dreya. Dia bersedia mempersiapkan segalanya di sana. Kita hanya tinggal membawa diri, pakaian dan beberapa barang pribadi seperlunya.'

'Baiklah. Kapan kita berangkat?'

'Aku juga sudah membelikan kita tiket, Selasa depan kita berangkat. Dan tanggal 6 kita sudah kembali ke sini. Kita akan menjelajahi Lombok. Gede berjanji padaku akan mengantarkan kita berkeliling ke tempat apapun yang kita mau.'

'Selasa depan? Tanggal 30?'

'Iya, ada apa Dreya? Kau tampak tidak senang?'

'Tidak, tidak ada apa-apa. Terima kasih Callista.'

Sembari melemparkan senyum, wajahnya berbicara. Seakan ada yang mengganjal. Ada yang disembunyikan. Mungkin hanya perasaanku. Dia pasti senang dengan rencanaku.

-----------------------------------------------------------

'Kamu udah berkemas, Drey? Kenapa tas kamu masih kosong? Ayo Drey, sekarang sudah larut dan besok kita penerbangan paling pertama. Kita harus bergegas tidur agar tidak ketinggalan pesawat.'

'Sepertinya aku tidak jadi berangkat besok, Callista. Aku menyusul.'

'Tapi Drey, kenapa? Kita sudah merencanakan semuanya. Sarapan di Mataram, makan siang di Kuta, bermalam di Pantai Tangsi, bermain air di Gili. Kenapa Drey? Ada apa?'

'Aku harus masuk kerja, Callista. Ada laporan tahunan yang harus kukerjakan. Ini adalah syarat dari atasanku agar aku bisa cuti hingga tanggal tujuh. Maafkan aku, Callista. Aku tak ingin membuyarkan kesenanganmu di malam itu.'

'Dreya, aku kecewa. Aku sedih. Aku marah.'

'Maafkan aku Callista, aku berjanji akan datang. Tepat sebelum malam pergantian tahun. Aku janji, Callista.'
Kalimat terakhir disertai sebuah pelukan yang meluluhkan amarah dan kekecewaanku.

'Tapi kamu harus janji, Dreya. Jangan kecewakan aku.' Tangisku pun tumpah tak karuan. Air mata mengalir dengan deras. Tak ketinggalan sesenggukan yang menjadi-jadi.

'Iya, Callista. Aku janji. Aku takkan mengecewakanmu kali ini.' ujarnya disertai belaian lembut di punggungku sembari mendekapku semakin erat.

Setengah jam kutumpahkan air mata di pundaknya. Setengah jam pula tak kulepaskan dekapannya dari tubuhku. Kukumpulkan aroma tubuhnya, sebagai obat rinduku ketika kita terpisah berkilo-kilo jarak.

Keesokkan harinya, ku pun berpamitan dengan Dreya. Ku pandang wajahnya, ku amati setiap lekuk tubuhnya. Walaupun hanya dalam hitungan hari kita berpisah, tapi rasanya akan seperti beberapa tahun berpisah.

'Aku pergi dulu ya, Dreya, kamu harus menepati janjimu. Harus!'

'Aku pasti menepati janjiku, Callista.'

Setelah berpelukan beberapa menit, aku pun meninggalkan Dreya di depan pintu rumah. Meninggalkannya menuju taksi, menuju bandara, dan menuju Lombok. Sembari menahan tangis, kubuka kaca pintu taksi, aku tersenyum. Melambaikan tangan, dan benar-benar meninggalkannya.

Tepat pukul sebelas WITA, aku tiba di Praya, Bandara Internasional Lombok. Kulewati semua pintu di bandara.

'Callista, Callista.'

Terdengar sayup-sayup suara memanggilku tepat setelah aku melwati pintu terakhir. Kucari ke kanan dan ke kiri. Dari mana asalnya suara itu. Kucari lagi, tidak ada sesosok Gede sepanjang penglihatanku. Kucoba cari lagi. Kali ini ku putari pelataran bandara. Tetap tak ada.

'Callista, hei Callista. Sini, ke arah sini Callista.'

Suara itu masih terdengar. Sampai semakin dekat, semakin dekat, lebih dekat, dan 'Hei, aku panggil kamu dari tadi.' Ternyata asal suaranya di belakangku. Suara sedikit bass dengan logat gaya bicara seperti orang Bali. Gede.

'Hai. Astaga, aku cari kamu dari tadi. Ke kanan, ke kiri. Mencoba mencocokkan wajahmu di foto avatar DevianArt milikmu. Tapi tak ada hasil. Ternyata kamu di belakangku, toh.'

'Iya, aku sengaja tidak menyambangi kamu. Hanya memanggil. Pengen tahu, kamu mencari aku atau tidak. Hehe'

Kuperhatikan dengan seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambutnya yang pendek dibiarkan setengah berdiri persis dengan ingatanku. Tapi, wajahnya sedikit berbeda. Sekarang ditumbuhi kumis dan jenggot lebat, seakan bergaya mafia Italia. Wajah yang maskulin. Hidung mancung, mata besar, persis wajah asli Bali seperti avatar DevianArt yang kukenal. Kuperhatikan lagi tubuhnya. Dia mengenakan kaus oblong dengan merk perlengkapan surfing tergambar di dada dan celana jeans belel dengan potongan lurus agak kebesaran. Badannya cukup atletis. Oh, wajar. Dia anak pantai, pikirku.

'Hei, kamu ngeliatin apa? Ada yang aneh? Beda sama di avatar ya?'

'Sebentar, aku cek dulu.'

Segera ku ambil telepon genggamku. Kucoba telepon nomor yang telah kusimpan dengan nama Gede.

'Kring, kring, kring' bunyi telepon genggam monokrom milik Gede.

'Kamu nelepon aku? Buat apa? Kita kan sudah bertemu.'

'Tidak papa. Aku kira kamu bukan Gede.'

'Sekarang percaya? Ayo, kita harus makan siang. Aku nungguin kamu dari tadi. Kamu sudah sarapan?'

'Belum, lapar.'

'Yasudah, ayo kita makan. Kita makan di tempat makan paling murah dan paling enak di Mataram.'
Ternyata dia masih ingat dengan permintaanku. Aku minta padanya agar makan di tempat yang murah-murah.

'Sudah, jangan terlalu banyak mikir. Ayo jalan!' katanya sembari merangkulku.

Kami masuk mobil, dan memulai pembicaraan. Pembicaraan seperti kawan lama yang telah lama tak bertemu. Ya, kita memang telah lama kenal. Tapi hanya dalam dunia maya. Tepatnya di tahun 2008. Dan sekarang, tahun 2012.

'Kata kamu kemarin, kamu berdua sama teman kamu. Kemana teman kamu? Gak jadi ikut?'

'Jadi, tapi dia menyusul. Masih ada pekerjaan di Jakarta.'

'Oh begitu. Nah, ini dia warung makan murah dan paling enak di Mataram.'

Sebuah warung makan sederhana. Lebih mirip seperti warteg di Jakarta. Sekitar 30 menit dari Praya.

Satu piring penuh telah habis. Waktu pun tak terasa telah menunjukkan pukul satu siang. Ternyata Gede orang yang supel. Dia adalah orang asli Bali peranakan Lombok. Bapaknya asli Bali, Ibunya asli Lombok. Umurnya baru 24 tahun, terpaut 2 tahun lebih muda dari umurku yang 26 tahun. Sejak lulus SMA, dia merantau sendirian ke Bali untuk bekerja. Awalnya menumpang hidup di tempat pamannya. Setelah mendapatkan pekerjaan, dia memilih tinggal sendiri di daerah Legian. Sebuah kos kecil dekat dengan tempatnya bekerja, pijat refleksi. Saat dia bekerja di tempat tersebut, dia bercerita bahwa tak jarang dia harus memuaskan nafsu birahi para tamu tempat dia bekerja yang kebanyakan turis-turis asing. Dia juga bercerita bahwa dia pernah mempunyai kekasih turis asal Jepang selama enam bulan. Sampai kekasihnya kembali ke negeri asalnya. Dua tahun dia bekerja di tempat itu, dia memutuskan berhenti dikarenakan terlibat perkelahian mulut dengan atasan barunya.

Selepas berhenti bekerja di tempat refleksi tersebut, dia memutuskan bekerja sebagai pemandu perjalanan di tempat agen perjalanan milik pamannya. Dia pun bercerita bahwa dia terkadang menjual 'jamur ajaib' kepada turis-turis asing tamunya. Tetapi berdasarkan pesanan. Setelah tiga tahun berlalu, dia memutuskan kembali ke Lombok. Hasil dari lima tahun perantauannya, dia berhasil menabung untuk membeli sebuah Toyota Avanza keluaran tahun 2010. Dengan tujuan untuk membantu Bapaknya yang seorang petani agar bisa lebih mudah untuk memasarkan hasil pertaniannya ke seluruh Lombok.

'Mau kemana lagi kita? Aku mengikuti saran kamu saja, De.'

'Oke, kita ke rumahku terlebih dahulu. Menginap satu hari di rumahku, mempersiapkan segala sesuatunya, dan berangkat pagi-pagi sekali ke Tangsi. Setuju?'

'Oke deh. Aku ikut saja. Rumahmu masih jauh dari sini? Dari rumahmu ke Tangsi masih jauh lagi?'

'Lumayan, satu jam. Dari rumahku sampai Tangsi, satu setengah jam'

Wow, berarti jauh untuk ukuran sebuah kota kecil, pikirku. Tak apalah, untuk sampai ke pantai idamanku. Sebuah pantai dengan pasir berwarna merah muda, dan dikelilingi bukit di kanan kirinya. Ditambah lagi ada bukit karang menjulang di tengah lautan. Sebuah pemandangan yang indah dalam foto hasil pencarian di internet.

Perjalanan Mataram menuju tempat Gede tinggal dihiasi pemandangan yang asri. Walaupun sedang musim panas, tetapi tetaplah asri. Pepohonan di mana-mana. Sawah di kanan kiri. Benar-benar pemandangan yang takkan pernah kutemukan di Jakarta. Satu jam berlalu, waktu kuhabiskan untuk melihat pemandangan di kanan kiri. Tanpa berbicara sedikit pun.

Sampai juga akhirnya di rumah Gede, tepat pukul dua lebih lima belas menit. Sebuah rumah sederhana tanpa pagar dengan warung di depan rumahnya dan cat yang berwarna hijau muda.

'Hah, sampai juga akhirnya. Ayo masuk. Capek, Callista?'

'Lumayan, tapi terbayarkan. Aku suka banget pemandangannya tadi.'

'Iya, aku perhatikan kamu sampai terpesona melihat jalanan. Makanya, aku tidak mau mengganggu kekaguman kamu tadi.'

'Lagian, tak pernah kujumpai pemandangan seindah itu di Jakarta. Aku kagum.'

'Yah, begitulah Callista. Oh iya, kamu istirahat dulu. Itu, kamar yang diujung bisa kamu pakai.' katanya sembari menunjuk sebuah kamar berukuran 2x3 meter dengan cat berwarna putih sedikit kusam dan furniture lawas di dalamnya.

'Iya De. Badanku rasanya capek. Mau rebahan sebentar.'

'Silahkan. Kamar aku ada di depan, Bapak dan Ibu lagi di sawah. Kamu tidur dulu, kalau butuh apa-apa tinggal keluar. Nanti sore mereka pulang.'

Tanpa berbicara lagi, aku masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Gede, menutup pintu, dan langsung membiarkan tubuhku ambruk sejadi-jadinya di atas tempat tidur yang sedikit usang di depanku.

'Mbak, Mbak Callista, bangun mbak. Makan malam sudah siap. Mbak, Mbak Callista.'

Kulihat jam tanganku, sudah jam delapan malam. Kuputuskan tetap membenamkan diriku dalam lelap. Aku ingin meninggalkan kenyataan. Kenyataan bahwa Dreya tak ada di sampingku.

Hari berganti. Tanggalan pun bertambah. Hari ini tepat tanggal 31 Desember. Besok sudah 2013. Kutengok telepon genggamku, pukul delapan pagi dan tak ada pesan singkat dari Dreya. Ya, selamat Callista. Kau telah terlupakan. Kesedihan makin menjadi. Kemarahan berlipat. Tak ada harapan. Tak ada ucapan selamat pagi. Tak ada orang yang selalu kulihat di pagi hari. Aku rindu sekali, Dreya. Aku sangat sangat rindu. Aku rindu pancake buatanmu. Hatiku menangis, pikiranku kacau, bertanya-tanya kabarmu, Dreya.

'Mbak, mbak. Mbak Callista, bangun mbak. Sarapan.'

'Iya, bu. Sebentar.'

Kubuka pintu kamar tempatku, dan semua telah berkumpul. Ada empat orang di depanku, seorang lelaki paruh baya, dua perempuan, paruh baya dan seumuranku, dan Gede. Tak heran mereka berkumpul di depanku. Kamar tempatku tepat di depan ruang tengah dengan dapur dan kamar madi di samping kamar tempatku. Tak ada meja makan. Mereka makan bersama berlesehan ria. Sebuah kebersamaan kekeluargaan yang hangat. Sesuatu yang telah lama tak kurasakan.

'Mari mbak. Kita sarapan bersama.' kata ibu paruh baya kepadaku.

'Ibu, Bapak, Kak, ini Callista. Temanku dari Jakarta' ujar Gede memperkenalkanku pada keluarganya.

Langsung aku menyalami mereka satu persatu. Dan duduk di samping Gede.

'Capek banget ya mbak? Tadi malam saya bangunkan untuk makan malam, tapi tampaknya Mbak Callista tidak bangun' kata lelaki paruh baya yang kuduga sebagai pemimpin keluarga kecil ini.

'Iya, Pak. Saya ketiduran dari siang. Ketika bangun, sudah pagi.'

'Yasudah, ayo kita makan dulu.' Lanjut lelaki tersebut.

Kita makan bersama. Berlima. Dengan lauk seadanya, tempe dan tahu goreng. Terasa sekali kehangatan keluarga ini. Mereka tampak bersahaja. Sedikit terlupakan kesedihanku akan kehilangan Dreya.

Sesudah makan, aku berpamitan pada mereka, meninggalkan obrolan senda gurau untuk mandi membersihkan badanku.

'Callista, aku tunggu jam sebelas di depan ya. Kita langsung berangkat ke Tangsi.' Kulihat jam tanganku, sudah pukul sepuluh. Tak terasa dua jam kami makan sambil bersenda gurau.

'Iya De. Aku mandi lima menit, pake baju lima menit, sisiran lima menit dan siap berangkat.'

Lima belas menit kemudian, saya siap berangkat. Tepat lima belas menit.

'Ayo, saya siap. Bapak, Ibu, Kakak, saya berangkat ya.' Aku berpamitan kepada tiga orang yang masih asik bersenda gurau di depan kamarku. Kusalami mereka semua dan kita, aku dan Gede, masuk ke dalam mobil.

Dalam perjalanan menuju Tangsi, jalannya tak karuan. Setengah jam melewati jalanan aspal, dilanjutkan dengan jalanan bermedankan tanah dan bebatuan di tengah hutan.

'Mobil kamu tidak apa-apa De melewati jalan seperti ini?'

'Tidak apa-apa, Callista. Sudah biasa. Aku biasa menyendiri di Tangsi ketika hatiku sedang gusar.'
Pas. Pas dengan suasana hatiku yang gusar.

Satu jam melewati tanah dan bebatuan telah lewat. Mobil yang kami naiki memasuki sebuah gang dengan kanan kiri semak tinggi yang jarak di antaranya hanya cukup untuk satu mobil.

'Mbak, merem.'

'Ada apa? Saya tidak mau.'

'Aku ada kejutan.'

'Tidak, saya tidak mau.'

'Ayo. Aku janji, ini kejutan yang tidak akan membuat kamu kecewa.'

'Aku ti-dak-ma-u.' ujarku seraya sedikit kesal.

'Aku mohon.'

'Kalau sampai membuatku makin marah, lebih kau antarkan aku ke bandara.'

'Iya, Callista. Aku janji'

Kututup mataku. Mungkin dua puluh menit telah lewat. Tak ada instruksi untuk membuka mata.

'Sekarang buka Callista'

Akhirnya instruksi yang kutunggu datang. Kubuka mataku, dan aku terkejut. Sebuah pantai dengan pasir taburan berlian berwarna merah muda terpantul bercahaya terkena sinar matahari. Laut yang mengayun pelan seakan menari. Seakan ada langit berpindah karena warna birunya yang sangat menggoda. Bukit yang hijau di kanan kirinya. Di tambah bukit karang tinggi menjulang, persis seperti Tanah Lot di Bali.

Aku pun berlari kegirangan. Kucium aroma pasir, kubasuh wajahku dengan air biru di depanku, dan aku benar-benar senang. Aku senang tak karuan. Pantai idamanku. Tempat yang dahulu hanya cita-cita, sekarang telah berhasil kusambangi. Kutiduri berlian-berlian berwarna merah muda yang indah ini. Kupejamkan mataku, seakan tak percaya. Mencoba menyadarkanku dari mimpi. Makin kupejam, sinar matahari seakan makin menggigitku. Panas. Kubuka mataku, aku masih berada di sini. Pantai idamanku. Dan ternyata, Gede sudah berbaring tepat di sampingku.

'Kamu tidak sedang bermimpi, Callista. Kita benar-benar telah sampai di Pantai Tangsi. Inilah tempatku menyendiri.'

'Aku benar-benar senang, De. Terima kasih kau telah membawaku kepada tempat yang indah ciptaan Tuhan idamanku ini.'

'Sama-sama Callista. Aku senang bisa bertemu. Akhirnya.'

Aku tau ada yang ganjil dengan ucapan Gede yang terakhir, tetapi aku tidak perduli. Aku terlalu sibuk dengan kesenanganku.

Tak terasa sekarang jam tanganku telah menunjukkan pukul delapan. Ku ambil telepon genggamku, pijit nomor wanita kesayanganku. Tapi, panggilanku tak ada yang menjawab. Apakah Dreya telah benar-benar melupakanku? Apakah Dreya terlalu sibuk untuk mengabariku? Apakah Dreya terlalu bahagia dengan orang lain? Apakah Dreya..

'Hei, kamu kenapa menangis Callista? Ada apa?'

'Tidak, De. Tidak apa-apa. Aku hanya terharu akhirnya bisa sampai di sini.' sebuah jawaban yang kubuat sekenanya. Untuk menyembunyikan kesedihan hatiku.

Tenda telah berdiri, api unggun telah menyala, dan kita duduk bersampingan menatap rembulan sembari menunggu ikan tangkapan tadi sore matang.

'Kamu tahu Callista, apa yang paling aku suka dari rembulan?'

'Aku tahu, rembulan begitu cantik. Begitu indah. Walaupun dari jauh, tapi aku tetap mengagumi rembulan.'

'Ya, kita sepaham. Persis seperti manusia. Manusia begitu indah dan elok dari luar. Tapi ada rahasia dibalik keindahan fisiknya. Rahasia yang juga indah atau buruk rupa, orang lain takkan pernah tahu. Begitu pula rembulan. Kita takkan pernah tahu sebenarnya bulan benar seperti pemberitaan di propaganda televisi atau tidak.'

'Tapi. Aku sedang rindu, De. Aku merindukan Dreya.'

'Kau tatap rembulan. Tatap dengan dalam. Katakan dalam hati bahwa kau merindukannya. Bulan akan menyampaikannya. Bulan akan menyampaikan rindumu kepada Dreya. Melalui keindahannya. Karena, kamu indah Callista. Seindah rembulan.'

Belum pernah aku mendengar kata-kata seindah ini. Mungkin pernah, tapi tidak pernah dengan perasaan sekalut ini. Rindu pada Dreya ditambah getaran pada Gede. Kurasa aku menyukai Gede. Tidak. Aku tidak menyukai Gede. Aku hanya terbawa suasana. Terbawa keindahan Tangsi dan rembulan di malam ini.

'Callista, ayo makan. Ikan bakar ala Gede.' ujarnya dengan melemparkan senyum. Senyum yang indah. Dia manis.

'Jangan bengong, ayo kita makan. Kamu kebanyakan bengong Callista. Tuh, perut kamu rata. Bukti kalau kamu harus makan.'

'Siap komandan!'

Kami pun makan. Makan di temani pemandangan bulan paling indah di tempat paling indah.

Waktu berlalu begitu cepat. Kutengok lagi jam tanganku, ternyata sudah pukul setengah dua belas. Setengah jam lagi. Setengah jam lagi tahun 2013. Setengah jam lagi. Seharusnya kita bersama, Dreya. Seharusnya kita merayakannya bersama. Seharusnya aku tidak pergi tanpamu, Dreya. Seharusnya aku tetap di Jakarta. Seharusnya aku bisa memelukmu.

'Callista, jangan kau tahan kesedihanmu. Biarkan air matamu tetap menetes dengan deras. Karena itulah tugasku. Aku yakin, aku dipertemukan denganmu untuk menghapus air matamu. Untuk menyeka kesedihanmu. Tugas yang suci dari Tuhan.'

Aku pun memeluknya. Gede. Bukan Dreya. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangis di pelukannya. Memeluknya erat. Dan takkan kulepas.

'Selamat tahun baru, Callista. Terima kasih telah menjadi kado tahun baru paling indah untukku.' bisiknya dengan lembut.

Kulepaskan pelukanku. Ku pandangi sekali lagi wajahnya. Ku tengok jam tanganku, benar. Saat ini tepat pukul 00.00. Hari ini sudah 2013. Kucari telepon genggamku, kurogoh sakuku, tak ada. Kucari ke dalam tenda, ku cari kedalam tas, tetap tak ada.

'Apa yang kau cari, Callista?'

'Telepon genggamku. Apa kau melihatnya?'

Aku keluar dari tenda, bermaksud meminta Gede membantu mencari.

'Lalu, yang menggantung di lehermu itu apa?'

Kuraba leherku. Tali. Kutelusuri tali di leherku. Dan benar, telepon genggamku.

'Maaf De. Aku sangat ingin menghubungi Dreya. Aku begitu panik.'

Tanpa mempedulikan Gede, ku telepon sekali lagi Dreya. Tak aktif. Telepon genggamnya tidak aktif. Kucoba sekali lagi. Tetap sama. Tetap tidak aktif. Mungkin aku benar-benar harus melupakan Dreya. Tapi, kau begitu tega Dreya. Kau memperlakukanku bagaikan orang asing. Bahkan kau tidak mengabariku. Mana janjimu, Dreya? Aku menunggumu Dreya.

Malam semakin larut. Hati pun semakin kalut. Namun entah mengapa, ada sedikit ketenangan setiap kali melihat Gede. Wajahnya yang keras tapi manis. Sedikit melupakan kekacauan hati karena Dreya.

'Kamu tidak tidur, De?'

'Tidak Callista. Aku masih ingin menatap rembulan.'

'Tapi ini sudah pukul tiga De.'

'Tak apa. Sekalian menjagamu dari luar tenda, Callista.'

'Baiklah. Aku tidur duluan.'

Akhirnya aku pun masuk tenda. Dengan perasaan makin kalut. Di otakku kali ini hanya ada Gede. Ada apa? Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan Gede dalam pikiranku. Aku seperti sedang jatuh cinta. Apa? Jatuh cinta? Tidak. Aku tidak mau. Aku hanya mau Dreya.

Semakin lama kusangkal, semakin aku tidak bisa melupakan Gede. Satu jam aku tidak bisa tidur. Hanya menyangkal tentang Gede dalam pikiran. Sampai akhirnya aku tertidur.

'Pagi Callista' betapa kagetnya ketika ku keluar dari tenda. Ada suara yang kukenal. Bukan Gede. Suara yang begitu lembut. Suara yang selalu ku suka. Ternyata Dreya. Dia di depanku. Tapi apakah aku bermimpi?

'Callista, aku minta maaf ya. Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku terlambat.' kata Dreya sembari memelukku.

Tapi aku masih mematung. Masih tidak percaya. Kucium aroma tubuhnya, mencoba memastikan. Dan ternyata ini Dreya. Dreya sungguhan.

'Aku menunggumu Dreya. Tahukah kau, aku begitu kalutnya menunggu kau. Aku takut kamu mengecewakanku. Aku takut kamu membohongiku dengan tidak menepati janjimu. Kau kuhubungi, tapi tidak menjawab. Bahkan tidak aktif. Aku khawatir Dreya. Aku benar-benar khawatir.'

'Aku tau Callista. Aku salah. Aku minta maaf Callista. Aku terlambat kare..'

'Sudah Dreya. Aku tidak perduli. Yang terpenting kamu sekarang di sini.'

'Terima kasih, Callista. Kau masih memaafkanku.'

Kulepaskan pelukan Dreya. Dan mencoba mencari di mana Gede.

'Kau sudah bertemu Gede, Drey? Dimana dia sekarang?'

'Iya, dia sekarang sedang menyiapkan peralatan untuk kita snorkling.'

'Tapi tapi, aku tidak bisa berenang Dreya.'

'Kamu tidak usah khawatir, Callista. Aku dan Gede akan menjagamu. Kamu akan pakai pelampung.'

'Dreya, Callista, turun ke pantai. Kita berangkat.' suara Gede dari kejauhan.

Kami pun turun dari bukit, menghampiri Gede yang telah siap dengan perlengkapan lengkap.

'Kalian kenakan kaki katak dan snorkle-nya. Khusus untuk Callista, pelampung ini juga harus kau kenakan.'

Setelah semua siap, kami naik ke atas kapal. Dan kami berangkat.

'Ya, ini spot yang paling bagus di sini. Kalian siap?'

'Tapi, tapi Drey. Aku, aku..'

'Tenang saja Callista. Aku dan Gede akan menjagamu.'

Kami bertiga pun turun ke air. Dreya benar-benar menjagaku. Dia memegang tanganku dengan erat. Bahkan sesekali memelukku dari belakang. Aku tidak perduli dengan apa yang ada di bawah air, aku hanya perduli pada apa yang Dreya lakukan.

'Callista, kau harus melihat ini. Ini begitu indah. Ikan warna-warni dan terumbu karang yang menakjubkan.' seru Gede di kejauhan.

Dia pun menghampiriku. Dan menarik tanganku. Terasa getaran menenangkan hati setiap kali kulit kita bersentuhan. Kami pun meninggalkan Dreya, sendirian.

Hari semakin sore. Kami telah berada di pinggir pantai. Bercanda, bersenda gurau, tertawa dan bermain pasir. Tampak keresahan di wajah Dreya. Ada apa? Apa lagi yang dia pikirkan? Apakah dia akan meninggalkanku sendirian?

'Kau kenapa Drey? Apa yang sedang kau pikirkan?'

'Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Aku tidak memikirkan apa-apa, sungguh.'

Aku tau Dreya sedang berbohong. Sedari tadi dia memperhatikan tingkahku dan Gede. Memperhatikan bagaimana kami bercanda. Memperhatikan perhatian Gede padaku dan bagaimana aku sangat nyaman di sampingnya.

Malam pun tiba. Menu makan malam kali ini adalah lobster. Tiga buah lobster yang besar. Hasil tangkapan Gede tadi siang. Dengan telaten, dia membuat api dan membakar lobster-lobster tersebut sampai siap kita makan. Sedangkan aku dan Dreya, sibuk berpelukan sembari bercanda di dalam tenda.

'Hei kalian, makanan sudah siap. Kalian tidak lapar?'

'Oke, sebentar De.' seru kami berbarengan.

Saat kami keluar tenda, kami begitu terkejut. Selain ada lobster, ternyata ada beberapa botol bir dan beberapa linting ganja. Apa-apaan ini? Kenapa ada beberapa barang itu?

'De, kok ada itu semua?' tanyaku pada Gede.

'Iya, kalian bisa gunakan itu semua. Bagi yang mau. Aku tidak memaksa. Tapi ini semua barang wajib ketika ku sedang menyendiri di sini.'

'Sudah, sudah Callista. Lebih baik kita makan. Kamu pasti lapar.'

'Iya Drey. Aku benar-benar lapar. Dari tadi grup drumband tak berhenti berbunyi di perutku.'

Lima belas menit, dan lobster-lobster itu pun habis tak bersisa. Gede seperti sedang tak nafsu makan. Dia hanya mengambil dua suapan kecil dengan tangannya.

'Makanmu sedikit sekali De? Ada apa? Kau tidak lapar?' Tanyaku padanya.

Tanpa menggubris sedikit pun pertanyaanku, dia sibuk meminum birnya dan menghisap selinting ganja.
Terlihat kesedihan yang mendalam di wajahnya. Kesedihan yang begitu terasa. Bahkan setiap orang yang melihatnya akan mengetahui bahwa dia sedang bersedih. Kutengok Dreya, dia sedang sibuk merapikan peralatan makan dan mencoba menyalakan api untuk kita.

'Aku menyukai rembulan, Callista. Tetapi sepertinya rembulan itu membelakangiku. Rembulan itu punya pujaannya sendiri. Rembulan lain, mungkin rembulan planet lain.'

'Kenapa tak kau kejar rembulan itu De?'

'Aku tidak mau menjadi punguk merindukan rembulan Callista. Aku tidak mau membuang-buang waktuku. Cukup melihatnya pun aku sudah senang.'

Aku tahu apa yang dimaksudkan oleh Gede. Aku tahu dengan persis. Dia menyukai ku. Tetapi, mungkin dia juga menyadari kedekatan aku dan Dreya. Betapa aku sangat kehilangan Dreya ketika dia belum ada di sini. Sejujurnya, aku pun sedang bingung. Aku bingung dengan hatiku. Aku pun menyukai Gede. Tapi, Dreya lebih dulu menginvasi hatiku. Kupikirkan lebih dalam, kurenungkan lebih lama, ternyata aku tak tahu. Aku tak tahu jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ada.

'Hei kalian, lagi ngebir? Aku minta satu boleh?'

'Boleh Drey, silahkan. Callista kalo mau, silahkan'

Kuperhatikan Gede tidak berhenti menghisap ganjanya. Linting demi linting. Kuhitung, telah tiga linting dia habiskan sendiri. Dia seperti sedang meninggalkan kenyataan.

'Maaf aku tinggal, aku mau tidur duluan.' Dan dia meninggalkan kami masuk ke tenda.

-------------------------------------------------------

Liburan kami telah masuk ke hari terakhir. Tanggal enam januari. Dan kami telah ada di bandara.

'Cepatlah kalian masuk. Batas waktu Check-in telah hampir habis. Sekarang sudah pukul delapan.'

'Iya, De. Aku dan Dreya mengucapkan terima kasih ya. Terima kasih telah menjadi pemandu.' Pemandu perjalanan dan pemandu hatiku ketika aku sedang kalut.

'Kapan-kapan kalau mau main ke Lombok, hubungi aku lagi ya Callista. Aku permisi.'

Gede pergi meninggalkan kami. Langkahnya gontai. Lesu. Aku melihat kesedihan di wajahnya. Aku melihat kehancuran di cara jalannya. Maafkan aku De. Hatiku telah terinvasi oleh Dreya. Aku minta maaf De.

'Ayo Dreya, kita masuk dan kembali ke rutinitas yang menjemukkan.'

'Ayo. Siapa takut. Tapi, asal kamu tidak meninggalkan aku, aku pikir takkan ada kata menjemukkan.'

Drey

“Aku ingin sekali melihat bintang malam ini”
“Kau tahu kan kalau langit Jakarta yang bedebu ini menutupi langit dan angksa, tak akan ada yang kelihatan”
“Aku hanya ingin melihat bintang, itu saja”
“Kau bisa berenang tidak?”
“Bisa, sedikit. Tapi kadang aku takut tenggelam”
“Tidak butuh keahlian renang. Yang penting kau bisa menyelam”
“Aku rasa bisa. Kenapa rupanya”
“Mari kuajak melihat bintang”
Sepanjang perjalanan dari bawah pohon belimbing di depan rumahku, sampai ke suatu tempat yang ternyata adalah hotel, aku cuma bisa menggerutu.
“Mana Bintangnya?”
“Udah, diam dulu.Nanti lihat sendiri”
Aku terdiam lama di halaman depan sebuah hotel bintang tiga.
“Buat apa ke hotel sekarang?”
“Jangan berpikir macam-macam dulu. Ayo masuk.”
Terseret seret kakiku melangkah, mengikuti langkah cepat dan panjang perempuan yang kadang menyebalkan, tapi lebih sering menyenangkan.
“Bawa baju renang gak?”
“Ya enggaklah. Mana ku tahu kalau kita mau ke kolam renang?”
“Yasudah.. pakai baju itu saja. Nyebur yuk?”
“Hah? Sekarang? Malam-malam nyebur ke kolam renang? Ogah! Dingin tau!”
“Mau Lihat bintang gak?”
“Ada gitu di dasar kolam?”
“Percaya aja, yuk?”
-----------------------------------------------------------
“Sekarang ambil nafas sebanyak mungkin. Lalu segera menuju dasar kolam. Kalau bisa tahan berat tubuh agar tidak mengambang. Harus bisa berbaring sampai dasar kolam, bisa?”
“Kalau cuma menenggelamkan diri, aku bisa”
“Coba”
Aku mengambil nafas sangat banyak. Lalu segera menuju dasar kolam. Ternyata tak segampang dugaanku. Untuk bisa sampai di dasar kolam dan bertahan, ternyata tidak gampang.
“Susah tau!”
“Coba lagi. Jatuhkan berat badan ke dasar kolam. Sekali sudah sampai tahan nafas dan jangan gerak lagi”
Setelah beberapa kali mencoba, aku bisa duduk di dasar kolam
“Now What?”
“Tenang nyonya, sekarang ambil nafas lagi yang banyak. Lalu kita berbaring di dasar kolam. Matanya ditutup ya. Setelah di dasar nanti, baru dibuka sambil lihat ke atas. Got it?”
“Oke”
Momen yang cuma dua menit itu benar-benar mengagumkan.
Aku menutup mata, menarik nafas sebanyak mungkin, mengisi paru-paru dan tenggelam.
Berbaring.
Ada dia di sebelahku.
Lalu perlahan aku melihat ke atas.
Dari balik riak riak kecil air kolam renang ini, aku menahan nafas dan membuka mata.
Perlahan, kelihatan sedikit demi sedikit, dan…
Aku melihat bintang.

Cahaya lampu di pinggir kolam terpendar dan dari dalam air mereka seperti berpuluh bintang berserakan diatas sebah lensa cembung yang agak buram.
“Bintangnya bergerak-gerak” kataku.
Beberapa gelembung air naik ke permukaan.
Pasti dia tidak mendengar, karena kami dalam air.
Dua menit, dan berpuluh bintang.
Hadiah ulang tahun paling manis.
Pulangnya, kami benar-benar  menggigil kedinginan.
Perempuan ini, selalu penuh kejutan.
Love you, Drey!

CALISTA

Pernahkan kau bangun dipagi hari dan tiba tiba merasa sangat kesepian?

Mencoba mengingat semua kejadian tadi malam namun tetap tak menemukan alasan untuk bahagia hari ini? Atau seperti kelelahan seperti dikejar anjing gila dan ternyata kau berlari dalam mimpi? Atau sepertinya kau telah melewatkan satu hari kalender dalam hidup?

Ya seperti itulah yang selalu aku rasakan setahun terakhir ini, sejak Dreya memutuskan untuk menikah dengan Tommy, si brengsek kaya raya yang mampu membuat hati orang tua Dreya luluh. Padahal mereka tidak pernah tau apa yang diinginkan oleh puteri mereka sendiri. Aku lebih tahu, aku sudah mengenal Dreya bahkan sebelum dia menjadi embrio. Orang tua mereka yang sekarang hanya media penyampaian Dreya ke dunia zaman ini. Sesungguhnya dulu, Aku dan Dreya sudah pernah bersama. Entahlah, Dreya seperti saudara kembar beda raga satu roh. 

Tapi pada akhirnya semua harus dikalahkan oleh jadwal sialan dalam organizer telephone pintar ini. Hari ini, dimulai dengan Rapat koordinasi dan sebagainya dan sebagainya ditutup dengan acara makan malam dengan Eselon II Direktorat ini dalam rangka launching sebuah program terbaru. Baiklah sebut saja aku sebenarnya adalah pekerja Negara, tapi sebenarnya aku sendiri tidak pernah mau melibatkan diri terlalu jauh, hanya sebatas name tag dan sebuah Nomor Induk Pegawai. 

Diluar itu, aku adalah Calista. Kau tidak tahu apa itu Calista? Atau siapa Calista. 
Mari ku ceritakan pelan pelan.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan Calista. Hanya seorang perempuan dengan banyak masalah. Satu waktu aku bertanya pada Dreya, aku sudah tidak ingin hidup dengan masalah. Dreya bilang bahwa hidup itu tidak simple. Harus complicated, itulah hidup.

Dreya tidak sering mengeluh, justru aku akan selalu cengeng dihadapannya. Kami tinggal satu rumah, sebuah kontrakan berwarna hijau, sebenarnya sering ingin ku cat ulang dengan warna warni saja. Tapi rumah itu terlalu polos untuk diwarnai. Dreya membiarkan begitu saja. Tidak setiap hari kami bertegur sapa, kadang setiap kesibukan masing masing menyeret kami menjadi orang lain. Dreya sibuk dengan Klien yang meminta ini itu, sedangkan aku sibuk mengurusi semua tetek benget rapat pejabat. Mulai dari tempat rapat, makanan sampai merk tusuk gigi yang akan dipakai. 

Jangan main main karena ini semua untuk kepentingan negara, dan dibiayai oleh uang negara. Aku tak peduli kadang kadang. Entah tusuk gigi itu sudah diracuni atau air mineralnya mengandung arsenik sekalian. Sudah bosan dengan semua pembicaraan manis tanpa hasil. 

Wahai kalian kalau mengikuti rapat semacam itu, segala sesuatunya terasa optimis, maka kalian akan terheran kenapa masih ada pengemis menangis mengais. 
Ah sudahlah pekerjaan itu tidak begitu penting. 

Calista akan lebih dikenal dengan asisten pejabat penting itu yang kemana mana menenteng 2 buah telephone pintar, dan tentu saja sebuah handy talky
Calista si manis ditengah manusia kumis, atau Calista yang dikenal dengan tatapan mata kau-kira-kau-siapa dan sebuah high hells hitam berhak 15 senti yang akan membuat dia menjulang tinggi dan siap membunuh siapa saja yang menghalangi.
Diluar semua urusan seperti itu Calista sering duduk terdiam di pinggir jendela kamar, memeluk bantal kecil di  dada dan terdiam. 
Menunggu malam melahirkan pagi. 
Atau menunggu Dreya. 

Aku dan Dreya seperti saling melengkapi, singkat cerita aku bisa berkata bahwa jika ikatan hubungan antara dua anak manusia terintim adalah pernikahan, maka aku akan menikahi Dreya dalam wujud laki-laki. Sering kulontarkan padanya, betapa aku berharap dia punya saudara kembar dibelahan dunia manapun, maka aku akan mengejarnya. Dreya hanya bisa terbahak. 



-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua sudah disiapkan, undangan sudah disebar, tak perlu lagi kujelaskan semua detil untuk sebuah pesta penikahan kan? Malam ini adalah malam terakhir Dreya tidur bersamaku. Sebut saja malam terakhirnya sebagai seorang Dreya Widjaja, karena besok mungkin dia akan mengganti nama belakangnya menjadi nama belakang suaminya atau mungkin tidak.

“Lis, besok malam aku sudah tidur dengan Tommy”
“ya aku tahu”

“kamu sudah sendiri”
“ya aku tahu”

“jangan pernah lupa menutup pintu depan ya?”
“ya”
 

“keran air jangan dibiarkan menyala terus”
“ya , ada lagi??”

“kalau bisa berhenti merokok”
“..”

“cari pacar Lis”
“..”

“Lis…”
“ya?”

“aku pergi ya”


Tidak ada yang pernah mengusirmu dari sini Drey. Juga tidak akan ada yang melarang mu datang kembali.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semuanya berjalan lancar, bulan madunya terlihat menyenangkan, bisa dinilai dari semua foto yang diunggahnya akun facebook miliknya. Dreya, sudah berubah menjadi nyonya. Sebentar lagi mungkin dia akan menyibukkan diri akan semua pengetahuan tentang kehamilan, merawat anak kecil dan berlangganan majalah “good parenting”. 

Sementara aku? Masih sibuk mencari tusuk gigi yang bisa di daur ulang atau tissue makan yang bisa di cuci saja.


Mamanya Dreya memberitahuku siang ini kalau Dreya sedang dirawat di Medistra. Jatuh dari tangga, begitu penjelasan Tante Mia. Aku segera meluncur dari kantor. Dreya yang beberapa bulan ini hanya bercerita tentang manisnya pernikahan sekarang harus ku temui dalan kondisi lebam dan luka memar dibadan. 

“mana Tommy?” pertanyaan pertamaku begitu ada disana, sebab aku melihat hanya ada Tante Mia yang menungguinya. 


“lagi tugas ke luar kota”

Seminggu kemudian Dreya datang ke rumah, tanpa pemberitahuan, tiba tiba saja aku sampai di rumah dan mencium aroma pancake dalam ruangan. Setumpuk pancake dan seteko kopi hitam, menjadi perekat kami kembali , seperti telur yang merekatkan semua bahan dalam adonan, kami kembali kalis. Dreya katanya menginap saja malam ini. Sebab suaminya belum pulang.

Pagi ini aku bangun dengan aroma pancake lagi, dengan suara keran air dinyalakan, dengan suara gesekan sapu ke lantai, dengan gordin yang terbuka lebar, dengan Dreya.
Hari ketiga Dreya di rumah, semua tidak berubah. Aku bahagia bisa kembali ke masa menyenangkan. Tapi tunggu, ini bukanlah hal yang lazim, Dreya adalah isteri Tommy, bukankah seharusnya dia menunggui suaminya, bukan malah mengeloni aku?

“Drey…, kenapa masih disini?”
“kenapa Lis? Sudah bosan aku disini?”

“oh come on Drey, like you don’t know me”
“Lis, kemarin aku dirawat bukan karena Jatuh dari tangga. Aku dipukuli Tommy. Memalukan kalau aku menceritakannya disana, dan dihadapan mama. Aku akan segera mengurus perceraian kami. Tapi sementara itu aku ingin tinggal disini saja. Menumpang makan dan tinggal disini, sampai aku bekerja kembali. Tommy ada di Jakarta sebenarnya, dan dia kami sudah tidak ada hubungan apa apa. Hanya tinggal menunggu proses legal saja”

“kapan pertama kali dia memukul Drey?”
“sejak kami masih berpacaran, tapi dia selalu minta maaf dan minta maaf, dan aku percaya. Mungkin dengan menikah semuanya akan semakin baik, kukira seperti itu. Tapi hidup itu tidak dirancang dengan sederhana”

Ingin ku peluk Dreya dan membelai kepalanya dan berkata,semua akan baik baik saja. Tapi kami bukan manusia yang romantis. Aku hanya mengangguk dan menyalakan rokok ke lima hari ini. Sejak Dreya ada di rumah aku berjanji akan merokok paling banyak 5 batang sehari. Seperti ibadah saja, sindirnya.

Apalagi yang bisa kuceritakan? Selain aku amat senang dengan Dreya ada disini. tapi sebenarnya aku marah atas keputusan memalukan itu, menikah dengan Tommy. Ingin rasanya kupatahkan leher Tommy dan menyuruhnya berlutut seribu kali dihadapan Dreya.

Sebenarnya aku sedang menceritakan diriku, Dreya, Calista.

Malam ini, kami tidur bersama lagi.



*sudah pernah saya posting akun di facebook .
dan belum sempat saya edit lagi, mungkin memang akan dibiarkan seperti ini