2013-02-01

Ironi

'Aku akan ke Semarang hari ini, dan tiba di Semarang Tawang jam 4 dini hari. Tunggu aku, Callista.'

Itulah bunyi pesan singkat pacarku yang bersikeras menyambangiku di Tembalang di tengah-tengah kesibukannya. Ya, dia telah bekerja. Seorang abdi negara yang berintegritas di sebuah kementrian paling populer akibat hadirnya remunerasi paling tinggi. Obi namanya. Kami beda tiga tahun dan menjadikannya lebih dapat mengayomiku. Obi bekerja sebagai abdi negara sudah lima tahun. Walaupun, dia mendapatkan remunerasi baru dua tahun belakangan ini. Dia adalah seniorku di kampus. Aku yang sangat butuh bantuan untuk memperbaiki perangaiku menjadikan Psikologi menjadi jurusan pilihanku. Tapi, ternyata nasib berkata lain. Obi lulus dengan tepat waktu dan berpredikat sangat memuaskan, sedangkan aku selalu berkutat dengan bab tiga di skripsiku.

Tepat pukul empat dini hari kusambangi Semarang Tawang, tetapi Senja Utama (kereta bisnis jurusan Jakarta-Semarang) belum juga tiba. Kutunggu hingga lima belas menit dan tak ada pemberitahuan akan datang. Pengeras suara pun seakan membeku akibat dari dinginnya hari itu. Ku hubungi ponselnya, tiada jawaban. Ku kirimkan pesan singkat pun tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk duduk diam menunggu keretanya tiba.

Kutengok jam tanganku lagi, pukul setengah lima. Bersabar dan bersabar. Hanya itu yang dapat kulakukan demi menyambut kedatangan penunggu hati. Perasaanku mulai gelisah, mulai tak karuan. Mulutku pun ikut berbicara tak karuan mengkhawatirkan kedatangannya.

Dan, sudah pukul lima.

Ku hubungi terus ponselnya, ku kirimkan pesan singkat sebanyak yang aku bisa. Pikiran buruk pun mulai tercetus. Mulai dari anjloknya rel kereta sampai terbakarnya semua gerbong kereta. Aku benar-benar mengkhawatirkannya. Aku takut terjadi hal-hal yang mulai menghantui pikiranku. Aku akan sangat merasa bersalah apabila Obi terluka di tengah perjalanannya ke sini. Karena, aku yang membuatnya ke sini. Aku lah alasannya ke sini. Kerinduanku padanya yang membawanya menempuh perjalanan beratus-ratus kilometer ke sini.

Dan, sudah pukul enam.

Kutanyakan kepada petugas apakah Senja Utama akan datang. Dan jawabannya hanya satu kata padat dan jelas. Iya. Saat kutanyakan kembali kenapa sampai saat ini belum tiba, jawabannya pun mengecewakan. Kami tidak tahu, kami kehilangan kontak. Hatiku makin tak karuan. Hatiku berdegup semakin kencang dan pikiranku makin sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Aku semakin panik. Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu keluar. Kutanyakan kecemasanku pada setiap petugas yang kutemui, jawabannya pun tetap tak dapat memuaskan kebutuhan pikiranku. Aku butuh kepastian. Kepastian Obi akan datang. Bahkan, saat ini ponselnya sudah tidak aktif. Aku semakin gila. Aku mulai mengambil rokokku. Kuhisapnya satu demi satu, batang demi batang tak henti. Aku tidak mau orang yang paling aku sayang melebihi diriku sendiri meninggalkanku untuk selama-lamanya.

Dan, sudah pukul setengah tujuh.

Kuputuskan untuk menghubungi sanak saudara dan kerabatnya yang ku kenal. Dimulai dari orang tua, kakak, adik, sepupu, teman satu kos, bahkan mantan pacarnya pun tak luput untuk kuhubungi. Jawaban mereka tetap sama, tidak tahu. Kepanikanku mulai menjadi. Kulihat sekitarku, seakan hari ini stasiun ditutupi awan kelabu. Tetapi hanya aku yang menampakkan wajah kecemasan. Iya, hanya aku. Aku yang adalah insan nonsosial akhirnya memutuskan untuk bertanya pada sekelilingku. Mereka tampak tenang. Dan jawabannya kompak sama. Keretanya sedang terhalang longsor dan mengalami keterlambatan sampai Semarang Tawang.

Tepat pukul tujuh dan aku sudah mulai tenang.

Berkat jawaban orang di sekelilingku, hatiku pun mulai tenang. Aku mulai menata kembali gambaran hatiku yang kelam. Kuwarnai dengan warna cerah yang menenangkan. Aku mulai menyimpulkan. Kereta terlambat dan Obi baik-baik saja. Hanya saja, ponselnya sedang tidak aktif dikarenakan kehabisan daya.

Dan, pukul setengah delapan.

Pengeras suara mulai mencair. Akhirnya dia menyuarakan keinginan orang-orang seperti ku. Orang-orang yang sedang menanti. Bahwa Senja Utama akan tiba. Aku pun bersiap di depan pintu keluar. Sembari merapikan rambut dan pakaianku, aku ingin menyambutnya dengan penampilan yang menyejukkan. Yang cukup membuatnya tersenyum puas setelah perjalanannya.

Kuperhatikan semua orang yang berjalan meninggalkan stasiun. Satu demi satu. Berharap Obi akan muncul di pelupuk mata.

Dan, pukul delapan.

Semua orang yang datang tak ada yang berperawakan seperti Obi. Kuputuskan menunggu kembali beberapa menit. Mungkin dia sedang di toilet. Kutunggu dan terus kutunggu. Tapi tetap nihil. Tidak ada Obi. Apakah dia tidak pernah menaiki kereta ini? Apakah dia membatalkan kedatangannya? Apakah dia ........?

Dan, pukul setengah sembilan.

Dengan tangan hampa dan penuh rasa kecewa, ku tinggalkan Semarang Tawang untuk kembali ke kediamanku. Hatiku hancur. Berserakan dan takkan pernah bisa kembali utuh. Mengapa dia begitu tega membiarkanku merasakan hal seperti ini? AKU MARAH.

Begitu sampai di kediamanku, kuambil ponselku dan hendak ku lemparkan ke dinding kamarku. Agar nasibnya sama dengan hatiku, berserakan. Ketika hendak ku lempar, kutengok sekali lagi ponselku. Dan ternyata ada pesan singkat. Pesan singkat dari Obi. APA? OBI MENGIRIMIKU PESAN SINGKAT? Berani sekali dia. Kubuka pesan singkat itu dan kubaca. Dan hatiku kini telah tiada.

'Sayangku, Callista. Aku minta maaf. Hari ini aku menikah. Aku hendak melarikan diri untuk menemuimu dan menghilang dari tanggung jawabku, tapi aku tidak bisa. Maafkan aku, Callista. Ini hanya sebuah kecelakaan yang harus kutebus akibatnya. Aku telah mempunyai calon bayi berkelamin laki-laki. Dan keluargaku sengaja tidak memberitahukanmu yang sebenarnya saat kamu menghubungi mereka.'

AKU BENCI KAMU, OBI! DAN AKU BENCI LAKI-LAKI

4 comments:

  1. dan handphone pun dibanting.

    nice one nug! emang lo ternyata jago ya nulis cerita romantis yang sadis..

    *jangan langsung besar kepala udah dipuji sama gw yee :D

    ReplyDelete
  2. makin berkembang euy dibanding tulisan-tulisan elo sebelomnya. keren!

    ReplyDelete
  3. keep swinging... brader.. :D

    ReplyDelete