'Tok tok tok', terdengar
ketukan pintu dari kejauhan. Mungkin tamu, tamu sebelah rumah. Tapi suaranya
semakin keras. Semakin lama semakin kencang.
'Callista, bukain pintu dong.
Kebelet nih.'
Ternyata Dreya yang mengetuk.
Tapi, kemana kunci rumahnya?
'Iya, iya. Sebentar.'
'Kemana si kunci rumah kamu?
Untung tidak kupanggilkan satpam. Hampir kukira kau orang gila.' Kicauan
setengah meracau yang keluar dari mulutku sembari membukakan pintu.
'Mana ada orang gila secantik
aku, Callista' ujar Dreya sembari berlari menahan desiran dalam kemaluannya
yang akan tumpah.
Dreya benar. Dialah wanita tercantik yang mungkin kulihat
di muka bumi. Layaknya alien dari planet bidadari yang mencoba menginvasi
kesadaranku. Mencoba menghantuiku dengan teror super manis dan dewasa.
Membimbingku menjadi alien dalam diriku yang berantakan dan tak terurus.
'Heh! Jangan bengong, nanti
makin kesambet.'
'Hah? Makin kesambet?
Maksudnya aku lagi kesambet?'
'Iya, kesambet setan
serampangan. Tuh, hidup kamu aja serampangan.' ujarnya sembari berlari ke kamar
mandi.
Yang Dreya katakan benar. Seratus persen benar. Aku memang serampangan.
Dan aku percaya, Dreya dikirimkan Tuhan untuk membenahi hidupku.
'Callista, makan dulu. Aku
sudah membelikanmu mie aceh kesukaanmu. Aku tahu, kau pasti belum makan.'
Tanpa mengucapkan apa-apa,
langsung ku tinggalkan rokok di asbak meja ruang tamu tetap menyala dan berlari
menuju meja makan.
'Kau memang seperti Ibu Peri,
Drey. Aku sedang lapar-laparnya.'
Seperti ada koneksi tanpa
batas, batin kita selalu terhubung. Aku memang sedang ingin makan mie aceh. Dan
aku lapar sekali.
'Hei, kenapa kau tidak makan
Drey? Ayolah, bisa habis ini kumakan sendiri.'
'Aku sudah makan Callista.
Aku sengaja membelikan ini untukmu. Aku tau kamu sedang lapar.'
Dreya tidak makan sedikit
pun. Dia hanya memperhatikanku melahap dua bungkus mie aceh di seberang meja
makan. Sambil tersenyum kecil, Dia meninggalkan meja makan untuk mengambilkanku
minum dan pindah duduk di sampingku.
'Kenapa sih kamu ngeliatin
aku sambil senyum? Aku aneh, ya?'
Kuperhatikan dandananku yang
masih mengenakan baju kerja. Kemeja biru, dengan blazer biru tua sebagai luaran
dan celana panjang biru tua. Lantas, kuperhatikan pakaian yang dikenakan Dreya.
Sebuah kemeja berbahan katun corak bunga, dengan rok selutut berwarna hitam.
Sebuah padanan yang pas untuk kulitnya yang kekuningan tanpa cela sedikitpun.
Wajahnya yang cerah berseri dan rambutnya yang hitam lurus terawat menambah
daya tariknya. Ya, kami memang bertolak belakang. Aku berkulit coklat, dengan
rambut sedikit ikal. Walaupun berat dan tinggi kita hampir sama, tapi Dreya
lebih tampak bagaikan seorang super model ketimbang aku yang seperti gadis desa,
entah desa belahan Indonesia bagian mana.
'Tidak. Kau begitu lahap,
hingga mulutmu penuh dan ngomongmu pun terdengar seperti deruman bajay.
Pelan-pelan makannya Callista. Nanti kau bisa tersedak.'
Ku lemparkan senyum termanis
kepadanya dan melanjutkan makanku.
Tak terasa dua jam berlalu. Kuperhatikan
jam dinding di ruang tamuku, pukul sepuluh. Ruang tamu adalah tempat terbaikku
di dalam rumah ini. Tempat ku menghayalkan lamunanku. Lamunan akan masa depan,
ataupun penyesalan masa lalu. Layaknya seorang dukun, rokok putih dan kopi
hitam selalu menemaniku di atas meja ruang tamu. Sofa yang nyaman dengan bahan
dari kulit dipenuhi oleh busa di dalamnya menambah kenyamananku di tempat ini.
Terkadang ditemani Dreya. Tapi saat ini Dreya telah terlelap di dalam kamarnya.
Mungkin dia letih akan pekerjaannya. Akan kuhabiskan sebatang rokokku ini, dan
kucium keningnya. Sebagai penghargaan dan tanda kasih sayangku padanya.
Hari telah berganti. Sekarang
pukul delapan hari Rabu tanggal 24 Desember, dan kami cuti hingga tanggal 7
Januari. Bukan karena ingin merayakan natal, lebih karena ingin melepaskan penat.
'Pagi Dreya, kau tampak lelah
pagi ini.'
Dreya selalu melakukan
pekerjaan rumah. Dia bangun pagi sekali, pukul lima. Menyapu, mengepel,
mengelap perabotan dan membereskan semua yang berantakan.
'Makan Callista, aku sudah
membuatkanmu sarapan. Pancake.'
Pancake, menu sarapan
favoritku. Dan kita pun makan bersama.
'Sebentar lagi tahun baru,
mau liburan bersama?'
'Boleh saja, kemana?'
'Semalam kulihat akun
DevianArt milikku, ada komen di foto pantai tangsi yang kuunggah. Komen dari
sahabat dunia maya di Lombok. Gede namanya. Dia mengajakku tahun baruan di sana.
Kemping di atas bukit. Pasti akan menyenangkan.'
'Boleh saja, tapi bagaimana
dengan peralatan dan perlengkapannya?'
'Kau tidak usah khawatir,
Dreya. Dia bersedia mempersiapkan segalanya di sana. Kita hanya tinggal membawa
diri, pakaian dan beberapa barang pribadi seperlunya.'
'Baiklah. Kapan kita
berangkat?'
'Aku juga sudah membelikan
kita tiket, Selasa depan kita berangkat. Dan tanggal 6 kita sudah kembali ke
sini. Kita akan menjelajahi Lombok. Gede berjanji padaku akan mengantarkan kita
berkeliling ke tempat apapun yang kita mau.'
'Selasa depan? Tanggal 30?'
'Iya, ada apa Dreya? Kau
tampak tidak senang?'
'Tidak, tidak ada apa-apa.
Terima kasih Callista.'
Sembari melemparkan senyum, wajahnya berbicara. Seakan ada
yang mengganjal. Ada yang disembunyikan. Mungkin hanya perasaanku. Dia pasti
senang dengan rencanaku.
-----------------------------------------------------------
'Kamu udah berkemas, Drey?
Kenapa tas kamu masih kosong? Ayo Drey, sekarang sudah larut dan besok kita
penerbangan paling pertama. Kita harus bergegas tidur agar tidak ketinggalan
pesawat.'
'Sepertinya aku tidak jadi
berangkat besok, Callista. Aku menyusul.'
'Tapi Drey, kenapa? Kita
sudah merencanakan semuanya. Sarapan di Mataram, makan siang di Kuta, bermalam
di Pantai Tangsi, bermain air di Gili. Kenapa Drey? Ada apa?'
'Aku harus masuk kerja, Callista.
Ada laporan tahunan yang harus kukerjakan. Ini adalah syarat dari atasanku agar
aku bisa cuti hingga tanggal tujuh. Maafkan aku, Callista. Aku tak ingin
membuyarkan kesenanganmu di malam itu.'
'Dreya, aku kecewa. Aku
sedih. Aku marah.'
'Maafkan aku Callista, aku
berjanji akan datang. Tepat sebelum malam pergantian tahun. Aku janji,
Callista.'
Kalimat terakhir disertai
sebuah pelukan yang meluluhkan amarah dan kekecewaanku.
'Tapi kamu harus janji,
Dreya. Jangan kecewakan aku.' Tangisku pun tumpah tak karuan. Air mata mengalir
dengan deras. Tak ketinggalan sesenggukan yang menjadi-jadi.
'Iya, Callista. Aku janji.
Aku takkan mengecewakanmu kali ini.' ujarnya disertai belaian lembut di
punggungku sembari mendekapku semakin erat.
Setengah jam kutumpahkan air
mata di pundaknya. Setengah jam pula tak kulepaskan dekapannya dari tubuhku.
Kukumpulkan aroma tubuhnya, sebagai obat rinduku ketika kita terpisah
berkilo-kilo jarak.
Keesokkan harinya, ku pun
berpamitan dengan Dreya. Ku pandang wajahnya, ku amati setiap lekuk tubuhnya.
Walaupun hanya dalam hitungan hari kita berpisah, tapi rasanya akan seperti
beberapa tahun berpisah.
'Aku pergi dulu ya, Dreya,
kamu harus menepati janjimu. Harus!'
'Aku pasti menepati janjiku,
Callista.'
Setelah berpelukan beberapa
menit, aku pun meninggalkan Dreya di depan pintu rumah. Meninggalkannya menuju
taksi, menuju bandara, dan menuju Lombok. Sembari menahan tangis, kubuka kaca
pintu taksi, aku tersenyum. Melambaikan tangan, dan benar-benar meninggalkannya.
Tepat pukul sebelas WITA, aku
tiba di Praya, Bandara Internasional Lombok. Kulewati semua pintu di bandara.
'Callista, Callista.'
Terdengar sayup-sayup suara
memanggilku tepat setelah aku melwati pintu terakhir. Kucari ke kanan dan ke
kiri. Dari mana asalnya suara itu. Kucari lagi, tidak ada sesosok Gede
sepanjang penglihatanku. Kucoba cari lagi. Kali ini ku putari pelataran
bandara. Tetap tak ada.
'Callista, hei Callista.
Sini, ke arah sini Callista.'
Suara itu masih terdengar.
Sampai semakin dekat, semakin dekat, lebih dekat, dan 'Hei, aku panggil kamu
dari tadi.' Ternyata asal suaranya di belakangku. Suara sedikit bass dengan
logat gaya bicara seperti orang Bali. Gede.
'Hai. Astaga, aku cari kamu
dari tadi. Ke kanan, ke kiri. Mencoba mencocokkan wajahmu di foto avatar
DevianArt milikmu. Tapi tak ada hasil. Ternyata kamu di belakangku, toh.'
'Iya, aku sengaja tidak
menyambangi kamu. Hanya memanggil. Pengen tahu, kamu mencari aku atau tidak.
Hehe'
Kuperhatikan dengan seksama.
Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambutnya yang pendek dibiarkan setengah
berdiri persis dengan ingatanku. Tapi, wajahnya sedikit berbeda. Sekarang
ditumbuhi kumis dan jenggot lebat, seakan bergaya mafia Italia. Wajah yang maskulin.
Hidung mancung, mata besar, persis wajah asli Bali seperti avatar DevianArt
yang kukenal. Kuperhatikan lagi tubuhnya. Dia mengenakan kaus oblong dengan
merk perlengkapan surfing tergambar di dada dan celana jeans belel dengan
potongan lurus agak kebesaran. Badannya cukup atletis. Oh, wajar. Dia anak
pantai, pikirku.
'Hei, kamu ngeliatin apa? Ada
yang aneh? Beda sama di avatar ya?'
'Sebentar, aku cek dulu.'
Segera ku ambil telepon
genggamku. Kucoba telepon nomor yang telah kusimpan dengan nama Gede.
'Kring, kring, kring' bunyi
telepon genggam monokrom milik Gede.
'Kamu nelepon aku? Buat apa?
Kita kan sudah bertemu.'
'Tidak papa. Aku kira kamu
bukan Gede.'
'Sekarang percaya? Ayo, kita
harus makan siang. Aku nungguin kamu dari tadi. Kamu sudah sarapan?'
'Belum, lapar.'
'Yasudah, ayo kita makan.
Kita makan di tempat makan paling murah dan paling enak di Mataram.'
Ternyata dia masih ingat
dengan permintaanku. Aku minta padanya agar makan di tempat yang murah-murah.
'Sudah, jangan terlalu banyak
mikir. Ayo jalan!' katanya sembari merangkulku.
Kami masuk mobil, dan memulai
pembicaraan. Pembicaraan seperti kawan lama yang telah lama tak bertemu. Ya,
kita memang telah lama kenal. Tapi hanya dalam dunia maya. Tepatnya di tahun
2008. Dan sekarang, tahun 2012.
'Kata kamu kemarin, kamu
berdua sama teman kamu. Kemana teman kamu? Gak jadi ikut?'
'Jadi, tapi dia menyusul.
Masih ada pekerjaan di Jakarta.'
'Oh begitu. Nah, ini dia
warung makan murah dan paling enak di Mataram.'
Sebuah warung makan
sederhana. Lebih mirip seperti warteg di Jakarta. Sekitar 30 menit dari Praya.
Satu piring penuh telah
habis. Waktu pun tak terasa telah menunjukkan pukul satu siang. Ternyata Gede orang
yang supel. Dia adalah orang asli Bali peranakan Lombok. Bapaknya asli Bali,
Ibunya asli Lombok. Umurnya baru 24 tahun, terpaut 2 tahun lebih muda dari
umurku yang 26 tahun. Sejak lulus SMA, dia merantau sendirian ke Bali untuk
bekerja. Awalnya menumpang hidup di tempat pamannya. Setelah mendapatkan
pekerjaan, dia memilih tinggal sendiri di daerah Legian. Sebuah kos kecil dekat
dengan tempatnya bekerja, pijat refleksi. Saat dia bekerja di tempat tersebut,
dia bercerita bahwa tak jarang dia harus memuaskan nafsu birahi para tamu
tempat dia bekerja yang kebanyakan turis-turis asing. Dia juga bercerita bahwa dia
pernah mempunyai kekasih turis asal Jepang selama enam bulan. Sampai kekasihnya
kembali ke negeri asalnya. Dua tahun dia bekerja di tempat itu, dia memutuskan
berhenti dikarenakan terlibat perkelahian mulut dengan atasan barunya.
Selepas berhenti bekerja di
tempat refleksi tersebut, dia memutuskan bekerja sebagai pemandu perjalanan di
tempat agen perjalanan milik pamannya. Dia pun bercerita bahwa dia terkadang
menjual 'jamur ajaib' kepada turis-turis asing tamunya. Tetapi berdasarkan
pesanan. Setelah tiga tahun berlalu, dia memutuskan kembali ke Lombok. Hasil
dari lima tahun perantauannya, dia berhasil menabung untuk membeli sebuah
Toyota Avanza keluaran tahun 2010. Dengan tujuan untuk membantu Bapaknya yang
seorang petani agar bisa lebih mudah untuk memasarkan hasil pertaniannya ke
seluruh Lombok.
'Mau kemana lagi kita? Aku
mengikuti saran kamu saja, De.'
'Oke, kita ke rumahku
terlebih dahulu. Menginap satu hari di rumahku, mempersiapkan segala
sesuatunya, dan berangkat pagi-pagi sekali ke Tangsi. Setuju?'
'Oke deh. Aku ikut saja.
Rumahmu masih jauh dari sini? Dari rumahmu ke Tangsi masih jauh lagi?'
'Lumayan, satu jam. Dari
rumahku sampai Tangsi, satu setengah jam'
Wow, berarti jauh untuk ukuran
sebuah kota kecil, pikirku. Tak apalah, untuk sampai ke pantai idamanku. Sebuah
pantai dengan pasir berwarna merah muda, dan dikelilingi bukit di kanan
kirinya. Ditambah lagi ada bukit karang menjulang di tengah lautan. Sebuah
pemandangan yang indah dalam foto hasil pencarian di internet.
Perjalanan Mataram menuju tempat
Gede tinggal dihiasi pemandangan yang asri. Walaupun sedang musim panas, tetapi
tetaplah asri. Pepohonan di mana-mana. Sawah di kanan kiri. Benar-benar
pemandangan yang takkan pernah kutemukan di Jakarta. Satu jam berlalu, waktu
kuhabiskan untuk melihat pemandangan di kanan kiri. Tanpa berbicara sedikit
pun.
Sampai juga akhirnya di rumah
Gede, tepat pukul dua lebih lima belas menit. Sebuah rumah sederhana tanpa
pagar dengan warung di depan rumahnya dan cat yang berwarna hijau muda.
'Hah, sampai juga akhirnya. Ayo
masuk. Capek, Callista?'
'Lumayan, tapi terbayarkan.
Aku suka banget pemandangannya tadi.'
'Iya, aku perhatikan kamu
sampai terpesona melihat jalanan. Makanya, aku tidak mau mengganggu kekaguman
kamu tadi.'
'Lagian, tak pernah kujumpai
pemandangan seindah itu di Jakarta. Aku kagum.'
'Yah, begitulah Callista. Oh
iya, kamu istirahat dulu. Itu, kamar yang diujung bisa kamu pakai.' katanya
sembari menunjuk sebuah kamar berukuran 2x3 meter dengan cat berwarna putih
sedikit kusam dan furniture lawas di dalamnya.
'Iya De. Badanku rasanya
capek. Mau rebahan sebentar.'
'Silahkan. Kamar aku ada di
depan, Bapak dan Ibu lagi di sawah. Kamu tidur dulu, kalau butuh apa-apa
tinggal keluar. Nanti sore mereka pulang.'
Tanpa berbicara lagi, aku
masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Gede, menutup pintu, dan langsung
membiarkan tubuhku ambruk sejadi-jadinya di atas tempat tidur yang sedikit
usang di depanku.
'Mbak, Mbak Callista, bangun
mbak. Makan malam sudah siap. Mbak, Mbak Callista.'
Kulihat jam tanganku, sudah
jam delapan malam. Kuputuskan tetap membenamkan diriku dalam lelap. Aku ingin
meninggalkan kenyataan. Kenyataan bahwa Dreya tak ada di sampingku.
Hari berganti. Tanggalan pun
bertambah. Hari ini tepat tanggal 31 Desember. Besok sudah 2013. Kutengok telepon
genggamku, pukul delapan pagi dan tak ada pesan singkat dari Dreya. Ya, selamat
Callista. Kau telah terlupakan. Kesedihan makin menjadi. Kemarahan berlipat.
Tak ada harapan. Tak ada ucapan selamat pagi. Tak ada orang yang selalu kulihat
di pagi hari. Aku rindu sekali, Dreya. Aku sangat sangat rindu. Aku rindu
pancake buatanmu. Hatiku menangis, pikiranku kacau, bertanya-tanya kabarmu,
Dreya.
'Mbak, mbak. Mbak Callista,
bangun mbak. Sarapan.'
'Iya, bu. Sebentar.'
Kubuka pintu kamar tempatku,
dan semua telah berkumpul. Ada empat orang di depanku, seorang lelaki paruh
baya, dua perempuan, paruh baya dan seumuranku, dan Gede. Tak heran mereka
berkumpul di depanku. Kamar tempatku tepat di depan ruang tengah dengan dapur
dan kamar madi di samping kamar tempatku. Tak ada meja makan. Mereka makan
bersama berlesehan ria. Sebuah kebersamaan kekeluargaan yang hangat. Sesuatu
yang telah lama tak kurasakan.
'Mari mbak. Kita sarapan
bersama.' kata ibu paruh baya kepadaku.
'Ibu, Bapak, Kak, ini
Callista. Temanku dari Jakarta' ujar Gede memperkenalkanku pada keluarganya.
Langsung aku menyalami mereka
satu persatu. Dan duduk di samping Gede.
'Capek banget ya mbak? Tadi
malam saya bangunkan untuk makan malam, tapi tampaknya Mbak Callista tidak
bangun' kata lelaki paruh baya yang kuduga sebagai pemimpin keluarga kecil ini.
'Iya, Pak. Saya ketiduran
dari siang. Ketika bangun, sudah pagi.'
'Yasudah, ayo kita makan
dulu.' Lanjut lelaki tersebut.
Kita makan bersama. Berlima.
Dengan lauk seadanya, tempe dan tahu goreng. Terasa sekali kehangatan keluarga
ini. Mereka tampak bersahaja. Sedikit terlupakan kesedihanku akan kehilangan
Dreya.
Sesudah makan, aku berpamitan
pada mereka, meninggalkan obrolan senda gurau untuk mandi membersihkan badanku.
'Callista, aku tunggu jam
sebelas di depan ya. Kita langsung berangkat ke Tangsi.' Kulihat jam tanganku,
sudah pukul sepuluh. Tak terasa dua jam kami makan sambil bersenda gurau.
'Iya De. Aku mandi lima
menit, pake baju lima menit, sisiran lima menit dan siap berangkat.'
Lima belas menit kemudian,
saya siap berangkat. Tepat lima belas menit.
'Ayo, saya siap. Bapak, Ibu,
Kakak, saya berangkat ya.' Aku berpamitan kepada tiga orang yang masih asik
bersenda gurau di depan kamarku. Kusalami mereka semua dan kita, aku dan Gede,
masuk ke dalam mobil.
Dalam perjalanan menuju
Tangsi, jalannya tak karuan. Setengah jam melewati jalanan aspal, dilanjutkan
dengan jalanan bermedankan tanah dan bebatuan di tengah hutan.
'Mobil kamu tidak apa-apa De
melewati jalan seperti ini?'
'Tidak apa-apa, Callista.
Sudah biasa. Aku biasa menyendiri di Tangsi ketika hatiku sedang gusar.'
Pas. Pas dengan suasana
hatiku yang gusar.
Satu jam melewati tanah dan
bebatuan telah lewat. Mobil yang kami naiki memasuki sebuah gang dengan kanan
kiri semak tinggi yang jarak di antaranya hanya cukup untuk satu mobil.
'Mbak, merem.'
'Ada apa? Saya tidak mau.'
'Aku ada kejutan.'
'Tidak, saya tidak mau.'
'Ayo. Aku janji, ini kejutan
yang tidak akan membuat kamu kecewa.'
'Aku ti-dak-ma-u.' ujarku
seraya sedikit kesal.
'Aku mohon.'
'Kalau sampai membuatku makin
marah, lebih kau antarkan aku ke bandara.'
'Iya, Callista. Aku janji'
Kututup mataku. Mungkin dua
puluh menit telah lewat. Tak ada instruksi untuk membuka mata.
'Sekarang buka Callista'
Akhirnya instruksi yang
kutunggu datang. Kubuka mataku, dan aku terkejut. Sebuah pantai dengan pasir taburan
berlian berwarna merah muda terpantul bercahaya terkena sinar matahari. Laut
yang mengayun pelan seakan menari. Seakan ada langit berpindah karena warna
birunya yang sangat menggoda. Bukit yang hijau di kanan kirinya. Di tambah
bukit karang tinggi menjulang, persis seperti Tanah Lot di Bali.
Aku pun berlari kegirangan.
Kucium aroma pasir, kubasuh wajahku dengan air biru di depanku, dan aku
benar-benar senang. Aku senang tak karuan. Pantai idamanku. Tempat yang dahulu
hanya cita-cita, sekarang telah berhasil kusambangi. Kutiduri berlian-berlian
berwarna merah muda yang indah ini. Kupejamkan mataku, seakan tak percaya. Mencoba
menyadarkanku dari mimpi. Makin kupejam, sinar matahari seakan makin menggigitku.
Panas. Kubuka mataku, aku masih berada di sini. Pantai idamanku. Dan ternyata,
Gede sudah berbaring tepat di sampingku.
'Kamu tidak sedang bermimpi,
Callista. Kita benar-benar telah sampai di Pantai Tangsi. Inilah tempatku
menyendiri.'
'Aku benar-benar senang, De.
Terima kasih kau telah membawaku kepada tempat yang indah ciptaan Tuhan
idamanku ini.'
'Sama-sama Callista. Aku
senang bisa bertemu. Akhirnya.'
Aku tau ada yang ganjil
dengan ucapan Gede yang terakhir, tetapi aku tidak perduli. Aku terlalu sibuk
dengan kesenanganku.
Tak terasa sekarang jam
tanganku telah menunjukkan pukul delapan. Ku ambil telepon genggamku, pijit
nomor wanita kesayanganku. Tapi, panggilanku tak ada yang menjawab. Apakah
Dreya telah benar-benar melupakanku? Apakah Dreya terlalu sibuk untuk
mengabariku? Apakah Dreya terlalu bahagia dengan orang lain? Apakah Dreya..
'Hei, kamu kenapa menangis
Callista? Ada apa?'
'Tidak, De. Tidak apa-apa.
Aku hanya terharu akhirnya bisa sampai di sini.' sebuah jawaban yang kubuat
sekenanya. Untuk menyembunyikan kesedihan hatiku.
Tenda telah berdiri, api
unggun telah menyala, dan kita duduk bersampingan menatap rembulan sembari
menunggu ikan tangkapan tadi sore matang.
'Kamu tahu Callista, apa yang
paling aku suka dari rembulan?'
'Aku tahu, rembulan begitu
cantik. Begitu indah. Walaupun dari jauh, tapi aku tetap mengagumi rembulan.'
'Ya, kita sepaham. Persis
seperti manusia. Manusia begitu indah dan elok dari luar. Tapi ada rahasia
dibalik keindahan fisiknya. Rahasia yang juga indah atau buruk rupa, orang lain
takkan pernah tahu. Begitu pula rembulan. Kita takkan pernah tahu sebenarnya
bulan benar seperti pemberitaan di propaganda televisi atau tidak.'
'Tapi. Aku sedang rindu, De. Aku
merindukan Dreya.'
'Kau tatap rembulan. Tatap
dengan dalam. Katakan dalam hati bahwa kau merindukannya. Bulan akan
menyampaikannya. Bulan akan menyampaikan rindumu kepada Dreya. Melalui keindahannya.
Karena, kamu indah Callista. Seindah rembulan.'
Belum pernah aku mendengar
kata-kata seindah ini. Mungkin pernah, tapi tidak pernah dengan perasaan
sekalut ini. Rindu pada Dreya ditambah getaran pada Gede. Kurasa aku menyukai
Gede. Tidak. Aku tidak menyukai Gede. Aku hanya terbawa suasana. Terbawa
keindahan Tangsi dan rembulan di malam ini.
'Callista, ayo makan. Ikan
bakar ala Gede.' ujarnya dengan melemparkan senyum. Senyum yang indah. Dia
manis.
'Jangan bengong, ayo kita
makan. Kamu kebanyakan bengong Callista. Tuh, perut kamu rata. Bukti kalau kamu
harus makan.'
'Siap komandan!'
Kami pun makan. Makan di
temani pemandangan bulan paling indah di tempat paling indah.
Waktu berlalu begitu cepat.
Kutengok lagi jam tanganku, ternyata sudah pukul setengah dua belas. Setengah
jam lagi. Setengah jam lagi tahun 2013. Setengah jam lagi. Seharusnya kita
bersama, Dreya. Seharusnya kita merayakannya bersama. Seharusnya aku tidak
pergi tanpamu, Dreya. Seharusnya aku tetap di Jakarta. Seharusnya aku bisa
memelukmu.
'Callista, jangan kau tahan
kesedihanmu. Biarkan air matamu tetap menetes dengan deras. Karena itulah
tugasku. Aku yakin, aku dipertemukan denganmu untuk menghapus air matamu. Untuk
menyeka kesedihanmu. Tugas yang suci dari Tuhan.'
Aku pun memeluknya. Gede.
Bukan Dreya. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangis di pelukannya. Memeluknya
erat. Dan takkan kulepas.
'Selamat tahun baru,
Callista. Terima kasih telah menjadi kado tahun baru paling indah untukku.' bisiknya
dengan lembut.
Kulepaskan pelukanku. Ku
pandangi sekali lagi wajahnya. Ku tengok jam tanganku, benar. Saat ini tepat
pukul 00.00. Hari ini sudah 2013. Kucari telepon genggamku, kurogoh sakuku, tak
ada. Kucari ke dalam tenda, ku cari kedalam tas, tetap tak ada.
'Apa yang kau cari,
Callista?'
'Telepon genggamku. Apa kau
melihatnya?'
Aku keluar dari tenda,
bermaksud meminta Gede membantu mencari.
'Lalu, yang menggantung di
lehermu itu apa?'
Kuraba leherku. Tali. Kutelusuri
tali di leherku. Dan benar, telepon genggamku.
'Maaf De. Aku sangat ingin
menghubungi Dreya. Aku begitu panik.'
Tanpa mempedulikan Gede, ku
telepon sekali lagi Dreya. Tak aktif. Telepon genggamnya tidak aktif. Kucoba
sekali lagi. Tetap sama. Tetap tidak aktif. Mungkin aku benar-benar harus
melupakan Dreya. Tapi, kau begitu tega Dreya. Kau memperlakukanku bagaikan
orang asing. Bahkan kau tidak mengabariku. Mana janjimu, Dreya? Aku menunggumu
Dreya.
Malam semakin larut. Hati pun
semakin kalut. Namun entah mengapa, ada sedikit ketenangan setiap kali melihat
Gede. Wajahnya yang keras tapi manis. Sedikit melupakan kekacauan hati karena
Dreya.
'Kamu tidak tidur, De?'
'Tidak Callista. Aku masih
ingin menatap rembulan.'
'Tapi ini sudah pukul tiga
De.'
'Tak apa. Sekalian menjagamu
dari luar tenda, Callista.'
'Baiklah. Aku tidur duluan.'
Akhirnya aku pun masuk tenda.
Dengan perasaan makin kalut. Di otakku kali ini hanya ada Gede. Ada apa? Aku
benar-benar tidak bisa menghilangkan Gede dalam pikiranku. Aku seperti sedang
jatuh cinta. Apa? Jatuh cinta? Tidak. Aku tidak mau. Aku hanya mau Dreya.
Semakin lama kusangkal,
semakin aku tidak bisa melupakan Gede. Satu jam aku tidak bisa tidur. Hanya menyangkal
tentang Gede dalam pikiran. Sampai akhirnya aku tertidur.
'Pagi Callista' betapa
kagetnya ketika ku keluar dari tenda. Ada suara yang kukenal. Bukan Gede. Suara
yang begitu lembut. Suara yang selalu ku suka. Ternyata Dreya. Dia di depanku.
Tapi apakah aku bermimpi?
'Callista, aku minta maaf ya.
Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku terlambat.' kata Dreya sembari memelukku.
Tapi aku masih mematung.
Masih tidak percaya. Kucium aroma tubuhnya, mencoba memastikan. Dan ternyata
ini Dreya. Dreya sungguhan.
'Aku menunggumu Dreya.
Tahukah kau, aku begitu kalutnya menunggu kau. Aku takut kamu mengecewakanku.
Aku takut kamu membohongiku dengan tidak menepati janjimu. Kau kuhubungi, tapi
tidak menjawab. Bahkan tidak aktif. Aku khawatir Dreya. Aku benar-benar
khawatir.'
'Aku tau Callista. Aku salah.
Aku minta maaf Callista. Aku terlambat kare..'
'Sudah Dreya. Aku tidak
perduli. Yang terpenting kamu sekarang di sini.'
'Terima kasih, Callista. Kau
masih memaafkanku.'
Kulepaskan pelukan Dreya. Dan
mencoba mencari di mana Gede.
'Kau sudah bertemu Gede,
Drey? Dimana dia sekarang?'
'Iya, dia sekarang sedang
menyiapkan peralatan untuk kita snorkling.'
'Tapi tapi, aku tidak bisa
berenang Dreya.'
'Kamu tidak usah khawatir,
Callista. Aku dan Gede akan menjagamu. Kamu akan pakai pelampung.'
'Dreya, Callista, turun ke
pantai. Kita berangkat.' suara Gede dari kejauhan.
Kami pun turun dari bukit,
menghampiri Gede yang telah siap dengan perlengkapan lengkap.
'Kalian kenakan kaki katak
dan snorkle-nya. Khusus untuk Callista, pelampung ini juga harus kau kenakan.'
Setelah semua siap, kami naik
ke atas kapal. Dan kami berangkat.
'Ya, ini spot yang paling
bagus di sini. Kalian siap?'
'Tapi, tapi Drey. Aku, aku..'
'Tenang saja Callista. Aku
dan Gede akan menjagamu.'
Kami bertiga pun turun ke
air. Dreya benar-benar menjagaku. Dia memegang tanganku dengan erat. Bahkan
sesekali memelukku dari belakang. Aku tidak perduli dengan apa yang ada di
bawah air, aku hanya perduli pada apa yang Dreya lakukan.
'Callista, kau harus melihat
ini. Ini begitu indah. Ikan warna-warni dan terumbu karang yang menakjubkan.' seru
Gede di kejauhan.
Dia pun menghampiriku. Dan
menarik tanganku. Terasa getaran menenangkan hati setiap kali kulit kita
bersentuhan. Kami pun meninggalkan Dreya, sendirian.
Hari semakin sore. Kami telah
berada di pinggir pantai. Bercanda, bersenda gurau, tertawa dan bermain pasir.
Tampak keresahan di wajah Dreya. Ada apa? Apa lagi yang dia pikirkan? Apakah
dia akan meninggalkanku sendirian?
'Kau kenapa Drey? Apa yang
sedang kau pikirkan?'
'Ah, tidak. Tidak ada
apa-apa. Aku tidak memikirkan apa-apa, sungguh.'
Aku tau Dreya sedang
berbohong. Sedari tadi dia memperhatikan tingkahku dan Gede. Memperhatikan
bagaimana kami bercanda. Memperhatikan perhatian Gede padaku dan bagaimana aku
sangat nyaman di sampingnya.
Malam pun tiba. Menu makan
malam kali ini adalah lobster. Tiga buah lobster yang besar. Hasil tangkapan
Gede tadi siang. Dengan telaten, dia membuat api dan membakar lobster-lobster
tersebut sampai siap kita makan. Sedangkan aku dan Dreya, sibuk berpelukan
sembari bercanda di dalam tenda.
'Hei kalian, makanan sudah
siap. Kalian tidak lapar?'
'Oke, sebentar De.' seru kami
berbarengan.
Saat kami keluar tenda, kami
begitu terkejut. Selain ada lobster, ternyata ada beberapa botol bir dan
beberapa linting ganja. Apa-apaan ini? Kenapa ada beberapa barang itu?
'De, kok ada itu semua?' tanyaku
pada Gede.
'Iya, kalian bisa gunakan itu
semua. Bagi yang mau. Aku tidak memaksa. Tapi ini semua barang wajib ketika ku
sedang menyendiri di sini.'
'Sudah, sudah Callista. Lebih
baik kita makan. Kamu pasti lapar.'
'Iya Drey. Aku benar-benar
lapar. Dari tadi grup drumband tak berhenti berbunyi di perutku.'
Lima belas menit, dan
lobster-lobster itu pun habis tak bersisa. Gede seperti sedang tak nafsu makan.
Dia hanya mengambil dua suapan kecil dengan tangannya.
'Makanmu sedikit sekali De?
Ada apa? Kau tidak lapar?' Tanyaku padanya.
Tanpa menggubris sedikit pun
pertanyaanku, dia sibuk meminum birnya dan menghisap selinting ganja.
Terlihat kesedihan yang
mendalam di wajahnya. Kesedihan yang begitu terasa. Bahkan setiap orang yang
melihatnya akan mengetahui bahwa dia sedang bersedih. Kutengok Dreya, dia
sedang sibuk merapikan peralatan makan dan mencoba menyalakan api untuk kita.
'Aku menyukai rembulan, Callista.
Tetapi sepertinya rembulan itu membelakangiku. Rembulan itu punya pujaannya
sendiri. Rembulan lain, mungkin rembulan planet lain.'
'Kenapa tak kau kejar
rembulan itu De?'
'Aku tidak mau menjadi punguk
merindukan rembulan Callista. Aku tidak mau membuang-buang waktuku. Cukup
melihatnya pun aku sudah senang.'
Aku tahu apa yang dimaksudkan
oleh Gede. Aku tahu dengan persis. Dia menyukai ku. Tetapi, mungkin dia juga
menyadari kedekatan aku dan Dreya. Betapa aku sangat kehilangan Dreya ketika
dia belum ada di sini. Sejujurnya, aku pun sedang bingung. Aku bingung dengan
hatiku. Aku pun menyukai Gede. Tapi, Dreya lebih dulu menginvasi hatiku.
Kupikirkan lebih dalam, kurenungkan lebih lama, ternyata aku tak tahu. Aku tak
tahu jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ada.
'Hei kalian, lagi ngebir? Aku
minta satu boleh?'
'Boleh Drey, silahkan.
Callista kalo mau, silahkan'
Kuperhatikan Gede tidak
berhenti menghisap ganjanya. Linting demi linting. Kuhitung, telah tiga linting
dia habiskan sendiri. Dia seperti sedang meninggalkan kenyataan.
'Maaf aku tinggal, aku mau
tidur duluan.' Dan dia meninggalkan kami masuk ke tenda.
-------------------------------------------------------
Liburan kami telah masuk ke
hari terakhir. Tanggal enam januari. Dan kami telah ada di bandara.
'Cepatlah kalian masuk. Batas
waktu Check-in telah hampir habis. Sekarang sudah pukul delapan.'
'Iya, De. Aku dan Dreya
mengucapkan terima kasih ya. Terima kasih telah menjadi pemandu.' Pemandu
perjalanan dan pemandu hatiku ketika aku sedang kalut.
'Kapan-kapan kalau mau main
ke Lombok, hubungi aku lagi ya Callista. Aku permisi.'
Gede pergi meninggalkan kami.
Langkahnya gontai. Lesu. Aku melihat kesedihan di wajahnya. Aku melihat kehancuran
di cara jalannya. Maafkan aku De. Hatiku telah terinvasi oleh Dreya. Aku minta
maaf De.
'Ayo Dreya, kita masuk dan
kembali ke rutinitas yang menjemukkan.'
'Ayo. Siapa takut. Tapi, asal
kamu tidak meninggalkan aku, aku pikir takkan ada kata menjemukkan.'